Sabtu, 29 Agustus 2009

Menjemput Impian

Oleh : Boedi Poernomo


Debur ombak silih berganti memecah tepian pantai Karang Song. Menggiring buih pada hamparan pasir putih yang terserak. Angin utara menyapa lembayung senja yang merona di kaki langit. Sekumpulan camar berkicau riang melayang di antara buih. Damai.
Rodiah hanya sendirian diantara bongkahan – bongkahan batu yang begitu kekar menangkis ombak. Gadis manis anak abah Carba –nelayan miskin di ujung kampung- itu begitu menikmati detil-detil irama ombak pantai utara. Dentuman-dentuman ombak itu seolah dengung gong yang menggerakkan setiap persendiannya. Gemerisik pasir itu seperti ketukan nayaga yang selaras dengan keluwesannya. Tubuh ramping Rodiah terus bergerak melupakan kepenatannya. Rambutnya berkibar-kibar seperti selendang yang mengikuti alunan nada. Terkadang Rodiah tertawa seperti Raksasa, terkadang berlagak bagai seorang kesatria, sesekali ia berubah menjadi puteri raja. Rodiah terus menari menatap samudra. Rodiah menari menjemput senja. Rodiah menari menggapai asa.
Selalu di setiap senja. Dan ini adalah senja yang ke-sekian ribunya ia jelang dengan sebuah tarian. Terkadang untuk lebih menjiwai setiap tariannya, Rodiah membuat topeng dari kertas yang ia gambar sendiri sesuai karakter dalam setiap tariannya. Topeng Kelana dengan spidol berwarna merah, Samba putih polos, Rumiyang dengan spidol merah jambu, Panji dengan garis-garis tipis, Kemenggung berwarna coklat dengan guratan kumis, sedangkan Kelana Udeng ia buat dari potongan kardus bekas minuman.
Ia tak pernah belajar menari. Tapi senja di batas samudra telah mengajarinya setiap gerakan-gerakan penuh estetika. Warna jingga di tepian cakrawala telah menuntun langkah kakinya penuh irama. Bongkahan karang telah menjadi panggungnya selama ratusan purnama. Umang-umang telah menjelma menjadi pengagumnya paling setia.
Menjadi Penari Topeng. Itulah impian yang selalu ia bisikkan pada angin gersang. Ia berharap angin itu akan menerbangkan impiannya menuju panggung dunia. Menari di tengah lautan manusia. Mengenakan kostum lengkap dengan topeng di wajahnya. Melangkahkan kaki diiringi para nayaga. Disaksikan oleh para tamu istimewa. Menjadi duta pariwisata ke mancanegara. Mendapat penghargaan budaya dan segala macam peristiwa yang membuat dirinya menjadi Maestro yang melegenda.
Entahlah, barangkali ia hanya akan menjadi penari topeng yang setia menghantar lelapnya matahari di ujung lautan. Atau mungkin angin tak pernah benar-benar menerbangkang impiannya, agar Rodiah bisa menemaninya membelai tiap lekuk pantai Karang Song. Seorang gadis di pinggir pantai menarikan irama lautan adalah sebuah keistimewaan paling berarti. Setiap sendi yang bergerak mengikuti laju ombak ke tepian adalah keindahan paling sejati. Namun tak seorangpun bisa menikmati. Tak sekejap matapun yang peduli.
Namun, Rodiah tetaplah Rodiah. Seorang gadis miskin yang hanya memiliki panggung batu karang dengan riuh rendah umang-umang serta sebuah ilustrasi tepuk tangan yang selalu melegakannya setiap kali melangkah pulang. Tapi Rodiah baru benar-benar pulang bila senja telah menghilang. Ia selalu ingin menjadi orang terakhir yang menyaksikan matahari tenggelam. Dan selalu ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan pergantian malam di Karang Song. Sudah sejak dulu Abahnya memaklumi kebiasaan anaknya ini. Ya, sejak kepergian Mimi, senja Karang Song telah menjadi sahabat paling akrab tempatnya mencurahkan segala perasaan. Seperti sore ini ketika Rodiah baru saja sampai di teras rumah. Abah menyambutnya dengan senyum ramah.
“Sore ini pemandangan senjanya tidak sebagus kemarin, bah.” Katanya sambil menuju sebuah kursi rotan yang sengaja diletakkan diruang tamu, sebagai pemanis. Kursi itu adalah kursi satu – satunya yang mereka miliki. Abah melirik ke luar rumah, dilihatnya langit dengan raut wajah yang sedih.
“Abah tidak melaut?” Tanya Rodiah heran, sebab biasanya lepas maghrib abah sudah berkemas untuk melaut.
“Tidak nok, air laut pasang, takut ada badai.” Kata abah.
Rodiah tak bertanya lagi, sejurus kemudian, ia bangkit meninggalkan abah yang tengah sibuk melipat jaring. Beberapa pekerjaan rumah tangga tengah menanti melengkapi keletihannya setelah seharian kerja di pengolahan ikan asin milik Bi Kusni. Jika hari-hari biasa ia hanya bekerja sepulang sekolah. Namun ini hari minggu, hingga ia harus bekerja seharian dari pagi. Beruntung sekali Bi Kusni masih mau mempekerjakan gadis belia seperti dirinya, jika tidak entah ia tak bisa membayangkan bagaimana beratnya beban yang harus dipikul oleh Abah. Lamat-lamat tembang Bang Toyib bergemerisik dari radio tetangga. Lampu-lampu mulai menyala.

* * *

Teeett….!!!
Bel masuk sekolah berbunyi. Rodiah tergopoh-gopoh berlari memasuki ruang kelas. Tidak seperti biasanya ia terlambat. Ia harus berjalan kaki sejauh enam kilometer untuk sampai ke sekolah karena ingin menghemat ongkos. Biasanya Rodiah dan teman-teman sekampungnya berangkat ke sekolah naik angkot. Namun abah sudah hampir seminggu tidak melaut. Itu artinya tidak ada pemasukan dari Abah. Sedangkan upah dari Bi Kusni hanya ia terima sebualan sekali setiap tanggal lima belas yang biasanya langsung di gunakan untuk nyaur di warung sembako langganannya.
Hari itu memang bukan hari biasa bagi Rodiah. Di sekolahpun Rodiah tampak murung dan menyendiri. Waktu istirahatnya hanya ia habiskan dengan coretan-coretan kecil di meja tulis. Beberapa teman mengajaknya ke kantin, namun ia menolaknya dengan berbagai alasan. Tanpa sadar ternyata coretan-coretan di bangku itu telah berubah menjadi potret sebuah keluarga kecil. Abah, Mimi, dan dirinya. Sebutir bening menetes di sudut matanya. Berbagai pikiran tentang masa lalu dan impian silih berganti menjerumuskannya dalam diam yang panjang.
Mimi adalah seorang Ibu yang mulia dan Istri yang Soleha bagi ayah. Ia selalu bersyukur dan menerima berapapun jumlah penghasilan Abah dari Melaut. Pernah suatu ketika Abah pulang tanpa membawa apa-apa meski tak sebutirpun beras ada di penjaringan mereka. Tapi Mimi menyambutnya dengan tersenyum berusaha mengerti dengan perjuangan Abah. Mereka melewati malam itu dengan semangkuk mi rebus yang di bagi untuk bertiga.
Ah, coba seandainya Mimi masih ada, jerit bathinnya. Lalu kenangan-kenangan berlintasan di benak rodiah. Ah, Mimi. Lihatlah anakmu ingin sekali menjadi seorang penari. Aku ingin menari di Alun-alun, di tengah lautan manusia seperti yang kita saksikan sepuluh tahun yang lalu. Mi, bawa aku dari tempat ini! Batin Rodiah makin meronta.
Mimi meninggalkannya sehari setelah Rodiah kecil mengutarakan keinginannya untuk menjadi seorang Penari Topeng sepuluh tahun yang lalu. Kepergian seorang ibu adalah kehilangan yang besar bagi seorang anak. Terlebih ketika itu usia Rodiah baru menginjak enam tahun. Usia yang sangat rawan bagi perkembangan seorang anak. Kata Abah Mimi pergi untuk bekerja. Namun selama sepuluh tahun kepergiaanya tak pernah sekalipun ada kabar berita. Tak ada surat, telegram, ataupun sekedar kartu pos yang sampai ke rumahnya. Dua tahun yang lalu, seorang tetangga kampung yang baru pulang dari Taiwan mengaku pernah bertemu Mimi di sebuah tempat di sudut kota Macau.
Traakk…! Tiba-tiba saja pensil yang digenggamnya patah. Rodiah tersentak dari pikiran-pikiran itu. Ia langsung ingat dengan Abah di rumah. Entah kenapa ia ingin sekali segera pulang dan merebahkan dirinya di pelukan Abah. Barangkali patahnya pensil itu hanyalah sebuah kebetulan saja, namun sungguh Rodiah merasa bahwa itu adalah suatu pertanda patahnya sebuah harapan dan cita-cita. Ah, Rodiah merasa bahwa bel pulang sekolah hari ini terasa begitu lama dan medebarkan. Ia sudah tak sabar untuk segera bertemu Abah meski tanpa alasan yang pasti.
“Abah mau melaut ya?” pertanyaan itu spontan keluar dari mulut Rodiah begitu sampai di rumah mendapati Abah tengah mempersiapkan peralatan nelayan. Tubuh abah masih menyisakan kegagahan di balik kaos tipis yang di kenakannya. Ia adalah sosok lelaki yang kuat dan seorang ayah yang bijak. Sepeninggal Mimi, Abah kerap mendapat godaan dari beberapa perempuan, namun Abah adalah seorang lelaki yang bertanggung jawab. Ia memilih untuk menghabiskan sisa umurnya bersama anak semata wayangnya, Rodiah.
“Abah, bagaimana jika di laut terjadi sesuatu?” Rodiah semakin khawatir. Abah menghentikan pekerjaannya. Sejenak ia menatap Rodiah dalam-dalam. Di usapnya keringat yang menempel di kening anak kesayangannya itu.
“Nok, kamu pasti capek karena berangkat sekolah berjalan kaki. Istirahatlah, abah akan melaut. Meskipun pasang, abah harus tetap melaut. Kamu jangan khawatir, semoga saja tidak terjadi sesuatu pada Abah. Do’akan saja ya nok, supaya bapak bisa pulang dengan selamat dan membawa uang banyak.”
Rodiah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya berusaha untuk menguatkan hatinya. Ada yang aneh dari binar mata Abah. Abah seolah-olah menyembunyikan sesuatu darinya. Seperti sebuah penyesalan tiada tara. Namun ia berusaha menutupinya, tak ingin Rodiah menaruh curiga kepadanya. Abah melangkah berat meninggalkan Rodiah. Rodiah menatap punggung Abah benar-benar tak rela melepas kepergiannya. Rodiah merasa ada keganjilan dengan keputusan Abah yang nekat untuk tetap melaut, padahal baru kemarin Abah mengatakan bahwa ia takut ada badai. Dari balik sudut gelap di ujung gang rumah mereka Abah menangis menahan pedih. Mata laki-laki itu tak lepas dari sosok anaknya yang masih terpaku di teras rumah. Maafkan Abah,nok. Abah melakukan ini karena ingin melihatmu bahagia, bisik hatinya.

* * *

“Rodiah. Apa kamu sudah siap?” Rodiah tak mengerti dengan maksud pertanyaan lelaki yang kini tiba-tiba hadir di depannya. Rodiah sedikit bergidik melihat tampang lelaki asing itu. Lelaki hitam, berjas hitam dengan asap yang terus mengepul dari bibirnya yang juga menghitam.
“Saya Tarsa. Lengkapnya Sutarsa. Segeralah berkemas, besok pagi kita berangkat. Malam ini kita akan mengadakan gladi bersih terlebih dahulu.” Rodiah semakin tidak mengerti dengan ucapan lelaki asing itu.
“Begini, secara diam-diam kami sering memperhatikan tarian-tarianmu di pinggir pantai. Menurut kami, kamu adalah seorang penari berbakat alami. Kemahiranmu benar-benar menakjubkan. Sungguh sangat sayang apabila bakat itu di abaikan. Kebetulan kami tengah membutuhkan seorang penari berbakat alam dalam rangkaian perjalanan budaya kami ke beberapa negara. Kami akan sangat bangga bila nok Rodiah mau bergabung bersama kami. Bagaimana nok”
Tiba-tiba Rodiah merasa bahwa tubuhnya melayang ke angkasa. Sepasang sayap menerbangkannya menembus mega-mega. Ia tak tahu harus berkata apa, angannya melambung dengan mata berkaca-kaca. Setengah takjub, setengah tak percaya. Berkali-kali Rodiah mencubit pipinya, berharap ini adalah nyata. Terima kasih senja, terima kasih angin gersang, terima kasih batu karang, terima kasih umang-umang.
Ah, Mimi. Terima kasih Mimi. Akhirnya hari ini tiba. Akhirnya gadis miskin ini menuju impiannya. Mimi, Rodiah akan membuat Mimi bangga. Abah, setelah ini Abah tidak perlu nekat melaut. Rodiah akan bersekolah dengan biaya sendiri dan tidak lagi berjalan kaki. Dan Bi Kusni, Maaf. Rodiah tidak bisa bekerja di gesek lagi. Terima kasih untuk kebaikannya selama ini.
“Ayo, nok. Kita sudah di tunggu.” Suara Tarsa mendaratkan kembali kesadaran Rodiah. Dengan tersipu Rodiah langsung berkemas. Ia tak perlu lagi berpikir panjang. Tak ada yang harus di pertimbangkan. Tak ada yang mesti ia rundingkan. Impiannya telah di depan mata. Sebuah kesempatan yang sudah bertahun-tahun ia nantikan. Inilah saatnya bagi Rodiah untuk memutar roda nasibnya. Rodiah Menyiapkan beberapa helai pakaian yang masih terasa pantas ia kenakan. Memasukkan beberapa perlengkapan yang masih layak ia gunakan kemudian mnitipkan pesan agar Abah tak kehilangan.
Rodiah masuk ke dalam Pick Up milik Tarsa dengan persaan berdebar. Hayalan-hayalan telah membumbungkan harapannya. Terbang setinggi-tingginya menjemput impian.
Duh, sing ora di sangka-sang.
Duh, sing ora di nyana-nyana…
Sebuah tembang Tarling lawas dari radio dua band milik tetangga mengantar kepergian Rodiah. Dari balik sudut gelap di ujung gang, sepasang mata menatapnya penuh luka. Mata itu sudah tak sanggup membendung kepedihan dan kesakitan. Sepasang mata yang penuh keputus asaan. Sebuah tangisan yang lebih dalam dari pingsan. Sebuah kesedihan menuju batas paling tepi dari sepi. Deras air mata itu merembes menetes diatas tumpukan uang dalam genggamannya. Sepasang mata itu adalah milik Carba. Abah Rodiah.

* * *

Rodiah membuka matanya perlahan-lahan. Kelopak mata itu begitu berat. Ia terkejut menyadari bahwa ia kini telah berada di sebuah ruangan dingin bersama beberapa orang gadis seusia dirinya. Mereka pulas meski tergeletak di atas lantai tanpa alas. Cahaya redup di balik tembok tak sampai setengahnya menyentuh ruangan ini. Di sudut kanan ruang terdapat sebuah tong plastik berisi air keruh penuh jentik-jentik nyamuk yang tak terhitung jumlahnya. Beberapa centi dari tong itu menganga pipa saluran yang menebarkan bau pesing bercampur tinja ke segenap ruang.
Rodiah tersentak dengan kepala pusing bukan kepalang. Ada sesuatu yang tercekat di tenggorokannya sehingga susah baginya untuk bersuara. Ia membangunkan seseorang di sampingnya. Tubuh gadis itu nyaris setengah telanjang. Beberapa memar terlihat di pipi kanan dan pundaknya. Sementara di sudut bibirnya yang pecah ada darah yang mongering. Entah apa yang terjadi dengan wanita malang itu. Rodiah berusaha menggoyang-goyangkan tubuh gadis itu, namun tak ada respon. Ia mengira gadis itu jika tidak terlalu lelap maka pasti gadis itu tengah pingsan.
Tiba-tiba ruangan itu gaduh oleh makian-makian dan tangisan dari seorang gadis lainnya di belakang Rodiah. Gadis itu meronta-ronta menahan sakit di kepalanya. Barangkali sakit yang sama dengan yang di rasakan Rodiah. Satu-persatu semua penghuni ruangan itu terbangun. Mereka histeris dalam kegaduhan yang semakin menjadi-jadi. Rodiah baru tersadar bahwa ia dan gadis-gadis lainnya kini tengah di sekap dalam ruangan yang tidak lebih manusiawi dari sebuah penjara bagi para pencuri. Rodiah mengernyitkan kening, mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja ia alami.
Malam itu Tarsa membawa Rodiah ke sebuah tempat yang begitu mewah. Pada awalnya ia diperlakukan bagai tamu istimewa. Sebagai gadis kampung yang memiliki impian besar, tentu saja perlakuan manis Tarsa membuat Rodiah terkesan dan percaya dengan segala ucapannya. Tarsa mengiming-iminginya dengan kemewahan dan sebentang jalan meraih impian. Namun justru impian-impiannya itulah yang menjebaknya ke dalam peristiwa-peristiwa pahit dalam hidupnya. Pertemuan dengan Tarsa adalah awal dari segala bencana yang di alami Rodiah. Ia tidak pernah tahu bahwa Abah telah menghargainya dengan segenggam rupiah. Ia juga tidak pernah tahu bahwa sepuluh tahun yang lalu Mimi juga mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Dimatanya, Abah tetaplah sosok lelaki yang mulia.
Ternyata Rodiah tak pernah diminta untuk mempertontonkan tariannya. Tarsa tidak benar-benar mengagumi tariannya. Tarsa ternyata adalah musuh humanisme yang memperdagangkan manusia. Ia tidak pernah menyangka bahwa impian telah membutakannya sehingga menjadi korban kemanusiaan. Kini, segala macam penyesalan bergelayut di kelopak mata Rodiah. Segala macam caci maki dan sumpah serapah takkan bisa menjadi diplomasi yang membebaskan dirinya. Keputus asaan tiba-tiba menjadi sahabat yang ingin segera di akrabi. Dalam kondisi seperti ini, masihkah sabar dan do,a menjadi senjata seorang hamba?
Tiga orang lelaki kurus bermata sipit mendekati ruang sekap Rodiah dan kawan-kawan. Masing-masing mereka membawa nampan besar. Satu membawa nasi, satunya membawa lauk dan kerupuk, dan satu lagi membawa air minum. Waktunya makan siang bagi Rodiah dan sahabat-sahabat barunya di ruang tahanan.
“Siang ini kalian orang makan pake telor mata sapi. Dan ini ada vitamin. Jangan lupa diminum.” Kata seorang lelaki itu dengan aksen Tionghoa. Di hari ke sembilannya ini, Rodiah mendapat menu lebih baik dari sebelumnya. Biasanya ia hanya makan pake tahu basi atau ikan teri. Namun yang paling sering adalah mie tawar yang sudah mengembang karena di rendam semalaman. Suka atau tidak suka mereka harus memakannya jika tidak ingin mati kelaparan. Dan vitamin? nah inilah pertanda sesuatu akan terjadi sebentar malam. Setiap tiga hari sekali mereka selalu memberi vitamin dan obat bagi para tahanan, namun pada malam harinya satu dua orang diantara mereka dibawa keluar dari ruang tahanan. Pagi harinya mereka kembali dengan rasa nyeri di selangkangan. Mereka kehilangan keperwanan. Lalu malam ini siapakah yang akan menjadi korban? Rodiahkah, Surti, Mawar, Nining, Sri, atau…? Hantu ketakutan mengurung mereka dalam ruangan empat kali empat tanpa ventilasi entah di belahan dunia mana yang tak pernah mereka ketahui.

* * *
Rodiah dan sahabat barunya kini berada di sebuah dermaga kecil. Hanya ada tiga kapal yang bersandar. Menurut desas-desus yang ia dengar, mereka akan di bawa ke Taiwan. Tapi juga ada yang mengatakan mereka hanya akan dibawa ke pulau seberang.

Bersambung…

Tidak ada komentar: