Rabu, 16 September 2009

Januari Untuk Sarna

Oleh : Boedi Poernomo


“Kutunggu di Indramayu”
Hanya itu yang tertulis di menu kotak masuk handphoneku. Tak ada alamat dan nama pengirim. Hanya nomor ponsel dengan kode wilayah yang tak pernah kukenal. Kubuka-buka kembali memori telpon genggamku, namun tak satupun yang sesuai dengan nomor pengirim pesan singkat di ponselku. Sekali lagi kuacak-acak menu ponselku, berharap aku lupa atau terlewat untuk membuka nomor telepon yang tadi pagi mengirimiku sms sederhana namun mampu mengundang tanya yang dalam di diriku. Jika pengirim sms itu berasal dari Indramayu kiranya aku kenal dengan nomor kode wilayah itu dan bisa kupastikan bahwa pengirim sms itu barangkali adalah kawan lama atau orang-orang yang dulu pernah mengenalku begitu baik.
Pertanyaan-pertanyaan bagai gelombang pasang terus membanjiri otakku. Ada apa di Indramayu? Bagaimana pengirim sms misterius itu tahu bahwa saat ini aku sedang tidak berada di kota mangga itu? Lalu bagaimana ia bisa mengetahui nomor ponselku? Seingatku, sejak aku meninggalkan kota kelahiranku itu aku telah berganti nomor ponsel yang hanya kuberikan kepada orang-orang tertentu yang menurutku akan perlu untuk berkomunikasi. Aku mencoba mencari tahu siapa pengirim sms itu lewat teman-teman yang pernah bersama-sama mewarnai langit Indramayu. Tapi tak satupun diantara mereka yang mengenal nomor pengirim sms misterius itu bahkan merekapun ikut mengerutkan kening ketika kutanyakan mengenai kode wilayah nomor ponsel itu. Aku mencoba untuk mengira-ngira barangkali aku punya kenalan, saudara, atau teman di luar kota namun tetap saja hal itu belum mampu menjawab rasa penasaranku.
Kuputuskan untuk menghubungi nomor ponsel itu, namun hanya suara customer service terdengar menginformasikan bahwa nomor itu tak bisa dihubungi. Berkali-kali kucoba hasilnya tetap sama. Sambil berusaha mengubur kepenasaranku, beberapa hari kuabaikan saja persoalan short message service yang tanpa disangka berhasil menguras pikiranku disamping tugas kuliah yang mestinya bisa kuselesaikan sebelum masa tenggang yang diberikan oleh dosen masih berlaku. Namun nyatanya pesan misterius itu memiliki magnet jauh lebih kuat untuk menyedot pikiran, tenaga, dan waktuku ketimbang berkutat dengan diktat atau buku-buku perkuliahan yang tebalnya hampir sama dengan kitab undang-undang negeri ini.
Ku baca berulang-ulang kalimat singkat dan sederhana itu di kotak surat Nokia 6630-ku. Masih saja belum menjawab rasa penasaranku. Akhirnya setelah beberapa hari aku yakin bahwa sms tersebut salah kirim, meski cukup mengejutkan karena selama hampir empat tahun aku kuliah di Yogyakarta ini sangatlah jarang aku menerima kabar berita –atau sekedar basa-basi- selain dari keluarga di Indramayu.

* * *
“Kutunggu di Indramayu”
Huuhh! Kali ini benar-benar gila. Sebuah kartu pos dengan stempel pos kota Denpasar tidak mungkin sengaja nyasar ke alamat kost-anku. Persis seperti isi sms misterius tempo hari, isi kartu pos ini pun tidak berbeda. Hanya berisi pesan singkat tanpa maksud dan tujuan. Rasanya belum terlalu lama aku diteror oleh sms gelap, saat ini keherananku semakin bertambah dengan datangnya kartu pos tanpa alamat jelas dan nama pengirim. Dari stempel posnya jelas itu dari Denpasar, tapi seingatku aku tak mengenal seorangpun di pulau dewata itu.
Hebat. Ternyata pengirim pesan itu tidak hanya menggunakan teknologi canggih seperti handphone saja untuk menghubungiku, tapi ia juga menggunakan kartu pos sebagai alat komunikasi model lama namun masih menyisakan kesan melankolis. Kartu pos itu bergambar sebuah lukisan abstrak tanpa tanda tangan pelukisnya namun aku yakin bahwa lukisan di kartu pos itu tidak kalah jika dibandingkan dengan berbagai macam pilihan wallpaper di handphone, komputer, atau segala jenis produk modernisasi lainnya.
Jika persoalan sms bisa saja barangkali orang iseng atau salah kirim, tapi tidak mungkin selembar kartu pos ini begitu saja nyasar salah kirim ke alamatku. Barangkali pengirim sms misterius itu jugalah yang mengirimkan kartu pos ini. Kutimang-timang kartu pos itu, seolah-olah ia berharap agar aku segera mengabulkan permintaannya seperti yang tertulis jelas dalam kolom pesan itu. Aku mencoba untuk menyambungkan pikiranku antara masa lalu di Indramayu, dan apa hubungannya dengan kota Denpasar, serta pesan singkat yang kuterima lewat sms dan kartu pos bergambar lukisan abstrak itu. Yang bisa kusimpulkan hanyalah kota asal kartu pos itu dikirimkan dan bisa jadi nomor pengirim sms itu pun berasal dari kota Denpasar.
Seingatku, dulu aku hanya punya seorang teman bernama Sarna yang suka sekali dengan lukisan seperti yang tertera di kartu pos itu. Ia adalah teman sekelas yang pendiam namun disukai oleh banyak orang karena pandai melukis, ia juga begitu lihai memetik gitar dan mengolah kata menjadi untaian puisi yang kerap menjadi pemenang berbagai lomba. Sering kali sepulang sekolah, ia mengiringi langkahku di sepanjang jalan menuju ke rumah. Keakraban itu dikemudian hari berkembang pula menjadi getar-getar asmara, meski tak pernah terucap namun cukup terungkap lewat tatapan matanya yang dalam atau sekedar usapan jemarinya di poniku yang terkadang sering menutupi alis.
Tiga tahun kedekatan itu terukir begitu manisnya. Kedekatan itu berakhir seusai Ujian Akhir Nasional. Siang itu langit kota mangga mendung seusai diguyur hujan semalaman. Begitu juga disepanjang jalan M.T. Haryono, becek oleh sisa hujan. Kami menyusuri jalan itu barangkali untuk yang terakhir kalinya.
“Setelah ini kamu jadi melanjutkan kuliah ke Yogya?” deg! Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutnya yang tak banyak bicara.
“Jadi.” Jawabku singkat sambil menatap dalam kematanya. Aku melihat kesedihan disana, namun ia tampak tegar. Ia mengalihkan pandangannya ke langit yang menghitam tapi tidak berusaha untuk berkata apapun, hanya sesekali melompat menghindari genangan air di sepanjang jalan
“kamu sendiri setelah ini mau kuliah dimana?” tanyaku untuk sekedar meredam gejolak tak biasa ini. Padahal sebelumnya ia pernah bilang kalau ia tidak akan melanjutkan kuliah karena terbentur biaya. Ia ingin membantu perekonomian keluarganya karena ayahnya cuma seorang buruh bangunan dan ibunya memilih untuk berjualan kue keliling sementara tiga adiknya masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Ia mengambil sehelai rumput ilalang di pinggir jalan itu lalu memberikannya padaku.
“Jika nanti kamu tidak bisa menemuiku, maka percayalah bahwa saat itu aku tengah mempersiapkan pertemuan yang lebih baik dari pertemuan kita kali ini. Aku akan tetap tumbuh dimanapun aku berada seperti rumput ini yang bisa tumbuh dimana saja.”
Kalimat panjang itu seperti penutup pertemuan kami siang itu. Setelah itu aku benar-benar kehilangan dirinya. Tak ada berita apapun mengenai keberadaannya. Tak ada alamat atau nomor telepon yang bisa kuhubungi. Bahkan rumahnya di Indramayu-pun sudah dijual dan para tetangga tak satupun yang tahu perihal kepindahan keluarga itu. Hingga aku kuliah di kota gudeg-pun aku masih berharap untuk mendapatkan informasi tentangnya. Sesekali aku mendatangi pameran atau gallery seni rupa hanya sekedar untuk bernostalgia karena aku tahu Sarna sangat menyukai dunia itu.

* * *
“Kutunggu di Indramayu.”
Akhirnya kukemasi juga barang-barang keperluanku. Aku berangkat malam ini menggunakan kereta. Perjalanan antara Stasiun Lempuyangan hingga Stasiun Jatibarang cukup menguras tenaga, apalagi kereta yang kutumpangi adalah kereta kelas ekonomi. Tapi syukurlah aku bisa duduk di deretan paling sudut dari gerbong tua kereta ini. Tujuanku pulang ke Indramayu kali ini tidaklah sama dengan kepulangan-kepulanganku sebelumnya. Aku pulang ke Indramayu khusus untuk mengabulkan permintaan seseorang yang mengirimiku pesan lewat ponsel dan kartu pos. Hanya itu, meski hingga saat ini aku masih belum tahu siapa dan bagaimana cara mencari tahunya. Kuputuskan untuk ke Indramayu, setidaknya menuntaskan kerinduan pada keluarga dan syukur-syukur bertemu atau mendapatkan informasi mengenai Sarna.
Pertengahan januari Indramayu tampak lengang. Hanya sesekali saja pengendara motor bermantel melewati kota yang di belah sungai Cimanuk ini. Musim penghujan tahun ini rupanya membuat orang-orang kerasan untuk tinggal di rumah, menghirup segelas teh hangat atau barangkali memilih berlindung di bawah selimut. Begitu juga dengan aku, virus influenza ternyata menyambut kedatanganku dengan mesranya. Akibatnya, aku bersin-bersin dengan ingus mbleberan kemana-mana. Satu penyakit yang paling menjengkelkan di seluruh dunia. Musim penghujan awal tahun ini juga membuat pakaian-pakaian tak pernah kering.
Kubuka lagi menu kotak pesan di ponsel subsidi orang tuaku. Pesan singkat itu masih tersimpan begitu rapi. Kucoba lagi menghubungi nomor itu berkali-kali, tapi tetap saja tak bisa dihubungi. Setengah putus asa, kuamati kartu pos yang sengaja kubawa sebagai referensi atas misiku kembali ke kota ini. Namun tetap saja benda itu tak memberi informasi apa-apa selain gambar lukisan yang aneh namun pasti memiliki estetika yang tinggi.
Tiba-tiba aku ingat dengan coretan-coretan vignette yang masih betah menempel di dinding kamarku. Vignette-vignette itu kupajang sejak aku masih berseragam putih abu-abu. Goresan tinta hitam itu mengundang kenangan lamaku tentang masa-masa sekolah dulu. Vignette itu sering kuterima sepulang sekolah dari Sarna. Aku sering meliriknya menghitami kertas putih itu pada saat jam istirahat karena tak mampu mengisi waktunya di kantin bersama teman-teman yang lain. Terkadang tidak hanya vignette, tapi juga puisi dan sketsa-sketsa sederhana. Suatu ketika ia pernah mengutarakan obsesinya untuk mengharumkan nama Indramayu lewat karya-karyanya.
“Aku ingin menjadi seorang Seniman.” Ikrarnya begitu yakin dengan pilihan hidupnya. Aneh! Disaat aku dan anak-anak lain memilih untuk menjadi dokter, pengacara, pilot, pengusaha, atau arsitek, Sarna malah memilih untuk menjadi seorang Seniman yang sering sekali dipandang sebagai profesi yang tidak memiliki kekuatan ekonomi dan buang-buang waktu. Tapi diam-diam aku yakin dengan pilihannya karena menurutku ia memiliki kemampuan untuk itu.

* * *
“Kutunggu di Indramayu.”
Tok…tok…tok… tiba-tiba terdengar pintu kamarku diketuk dari luar, sesaat kemudian Dayna, tetangga sekaligus sahabatku semasa sma itu sudah ikut merebahkan tubuhnya disisiku. Kami sepakat untuk bernostalgia dengan kota ini walau cuma sekedar menyantap tahu gejrot di alun-alun. Ketika kuceritakan mengenai pesan sms dan kartu pos itu ia hanya menatapku begitu dalam namun bibirnya tak bergerak sedikitpun. Begitu juga ketika kutanyakan perihal keberadaan Sarna, ia hanya menggeleng lalu mengalihkan pembicaraan ke hal yang lain. Ia tampak berusaha menghibur dan menyemangatiku. Ah, Sarna, sekarang kamu ada dimana? Tidakkah kamu merasakan kerinduan ini begitu menyesakkan?
Ini hari ke-limaku di kota kelahiranku, namun hingga detik ini belum ada perkembangan yang signifikan perihal pesan singkat itu. Ah, barangkali aku hanya mengada-ada saja. Tak ada yang benar-benar menungguku di Indramayu. Kami menyusuri hampir setiap sudut kota ini, yang kudapati hanyalah semakin maraknya spanduk dan baligho berbagai macam produk dan kepentingan ikut meramaikan kota. Yang sedikit berarti adalah semakin menjamurnya warung-warung internet sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Warung-warung pulsa-pun seolah-olah berdesak-desakan, berjubel, memenuhi hampir di setiap tikungan jalan. Wah, bisa dibayangkan berapa rupiah yang bisa dikeluarkan masyarakat Indramayu setiap hari hanya sekedar untuk membeli pulsa saja. Rupanya alat komunikasi itu telah mampu menjadi kebutuhan pokok manusia selain sandang pangan.
Dayna mengajakku untuk melintasi jalan R.A. Kartini. Mataku seolah-olah dipaksa untuk tidak berkedip begitu melewati gedung Panti Budaya di sudut perempatan jalan itu. Dulu Sarna sering mengajakku untuk mengunjungi tempat ini tapi aku sering menolaknya dengan alasan orang-orangnya menyeramkan. Gondrong-gondrong, kucel-kucel dan terkadang sering bersikap aneh-aneh namun dimata masyarakat mereka kerap dianggap seniman. Saat ini, seandainya Sarna mengajakku ke tempat ini pasti tak akan kutolak. Sarna, aku tahu dimanapun kau tumbuh saat ini pasti tengah mempersiapkan pertemuan yang terbaik untuk kita. Sungguh, diam-diam aku berharap pengirim pesan singkat itu adalah Sarna.

* * *
“Kutunggu di Indramayu.”
“Nia, ikut ke Panti Budaya yuk…?” suara Dayna terdengar antusias pagi ini di handphoneku. Aku terhenyak seraya mengusap-usap mataku karna kantukku belum juga hilang hingga pagi ini. Semalam aku tidur terlalu larut karena pikiranku belum bisa terlepas dari persoalan pesan singkat itu.
“Ada apa di Panti Budaya?” tanyaku malas.
“Ayolah Nia, sebentar saja. Aku punya undangannya. Kemarin aku lihat sorot matamu begitu rindu dengan tempat itu. Kapan lagi? Mumpung kamu masih di sini.” Dayna berusaha membujukku. Entahlah, keputus asaan seolah-olah datang tanpa di undang. Tapi biarlah, barangkali aku bisa mendapatkan informasi mengenai pengirim pesan misterius itu. Atau barangkali jika aku beruntung, aku akan bertemu dengan Sarna.
“Baik. Jam berapa?” Tanyaku menyanggupi ajakan Dayna.
“Jam sepuluh pagi ini. Aku tunggu disana.” Dayna langsung menutup teleponnya tanpa menunggu pertanyaanku berikutnya. Sejenak aku terdiam, membayangkan gedung tua itu. Ingin sekali aku menjerit, berharap waktu dapat terulang ketika Sarna dulu berkali-kali memintaku menemaninya kesana.
Segera kupacu motorku menuju Panti Budaya. Perjalanan ke gedung itu melewati jalan MT. Haryono. Kembali harap dan kecemasan menggerogoti pikiranku. Sekolah kami dulu belum mengalami banyak perubahan kecuali semakin rindangnya pepohonan yang memagari halaman sekolah. Di sepanjang jalan itu kenangan tentang Sarna melintas-lintas di benakku.
Gerimis tipis mulai turun. Gedung Panti Budaya sudah mulai ramai oleh pengunjung. Tapi aku belum melihat sosok Dayna disana. Hanya wajah-wajah asing di sekelilingku. Mereka tampak sibuk. Rupanya sedang diadakan persiapan pembukaan Pameran Tunggal Seni Rupa karya seniman muda ternama. Pameran ini terlihat megah dan mewah dengan sponsor utama produk cellular terbesar di Indonesa. Beberapa pejabat teras baik dari daerah maupun pusat sudah menempati kursi yang disediakan panitia. Tapi hingga detik ini Dayna masih belum kelihatan. Jika kuhubungkan dengan isi pesan misterius itu, mestinya ada seseorang yang tengah menunggu kehadiranku di Indramayu. Tapi yang kuhadapi saat ini malah peristiwa menunggu. Kucoba untuk menelpon dan mengiriminya sms, namun tak ada satu balasanpun yang kuterima. Aku mulai panik dalam kondisi yang akut, tapi tetap berusaha bertahan di tempat yang begitu asing ini.
” ‘Ain…” tiba-tiba sebuah suara yang sangat kukenal menyapaku dari belakang. Hanya saja suara itu terdengar lebih berat dan bersahaja. Jantungku berdetak kencang. Aliran darahku seperti pengendara jalan tol yang melaju dengan kecepatan setan. Cuma ada seseorang yang memanggil namaku seperti itu. Ia membalik sebutan Nia menjadi ‘Ain lengkap dengan cengkok arabnnya. Bertahun-tahun sebutan itu tak lagi terdengar di telingaku. Panggilan khusus itu kini terucap bagai halilintar di jantungku. Panggilan dari seseorang yang selama ini begitu aku harapkan untuk menjadi pendamping hidupku.
Kuputar tubuhku yang membelakanginya. Kulihat Dayna tersenyum aneh disebelah sosok pemuda yang dulu pernah kukenal. Sosok itu begitu rapi mengenakan jeans biru yang dipadu dengan kemeja putih. Wajah itu begitu bersinar dengan tatapan yang sama seperti empat tahun yang lalu. Sebutir air mata bergulir di ceruk matanya yang dalam. Tanpa terasa pipikupun basah oleh relief yang diukir air mata.
“ ‘Ain…” sekali lagi ia menyebut namaku seperti membangunkanku dari tidur selama empat tahun. Aku tergagap, tak mampu mengendalikan perasaanku. Mulutku terkunci, tak sanggup bersuara sepatah katapun. Tanpa kusadari kini aku telah merelakan tubuhku dalam pelukannya. Sementara pengunjung semakin membanjiri gedung ini. Kuperhatikan lukisan disekelilingku semuanya terdapat tanda tangan Sarna. Mataku tak berkedip melihat sebuah lukisan besar yang terdapat di tegah ruangan pameran itu. Lukisan itu sama persis dengan lukisan yang terdapat di kartu pos yang kuterima sebelumnya.
Kecurigaanku tertuju pada Sarna, apakah Sarna-lah si pengirim pesan misterius itu? Apakah pertemuan seperti ini maksud dari pesan yang dikirimkannya? Lamat-lamat kudengar suara kurator menyebut-nyebut nama Mukadi Sarna sebagai pemuda asli Indramayu yang menempa diri di pulau Bali dan saat ini tengah meraih sukses sebagai seniman muda yang karya-karyanya paling diminati oleh banyak kolektor. Diluar, gerimis turun menyirami taman-taman. Bunga-bunga tampak mekar. Esok masih ada hariku bersama Sarna untuk menumpahkan segala Tanya.


* ) untuk Ucha MS, rumah pertamaku di indramayu.
Sindang, 22 April 2008

Tidak ada komentar: