Rabu, 10 November 2010

Di Lembaran Daun Kamboja

Kuburan. Apakah yang menarik dari sebuah tempat bernama kuburan, selain guguran daun kamboja, bentangan makam-makam, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam? Siapa pula yang mau menyambangi tempat beraroma angker itu, kecuali pada saat-saat tertentu seperti hari raya atau penguburan jenazah?
Tapi beberapa bulan belakangan sering kulihat sosok lekaki di sana. Memandangi sebuah nisan berlumut di pojok kiri areal pemakaman. Seingatku, itu makam seorang wanita. Aku ikut membantu menggali kuburnya dua tahun lalu.Entah apa hubungan lelaki itu dan nama yang tertulis pada nisan itu.
Lelaki itu masih muda. Kurasa umurnya di atas dua puluh tahun. Tubuhnya kurus jangkung. Kalau berjalan agak membungkuk. Rambut ikal dan jambang memenuhi wajahnya. Kehadirannya tak bisa diterka. Kadang ia ke kuburan seminggu sekali, dua minggu sekali, malah pernah dua hari berturut-turut kupergoki dia sedang ziarah. Mungkin orang lain tak akan percaya jika kuceritakan hal ini. Tapi begitulah kenyataannya. Kebiasaan unik lelaki itu membuatku cepat hafal wajah dan gerak-geriknya. Anak istriku pun tak curiga lagi jika melihatnya di kejauhan, berjingkat melewati nisan demi nisan, sebelum tiba di makam.
Pernah suatu pagi, ketika membuka pintu belakang untuk menaburi jagung di kandang ayam, aku kaget melihat dia sudah di sana. Matahari belum utuh menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti tak kenal waktu. Ketika orang-orang berangkat kerja, ke pasar, atau sekolah, dia malah ke kuburan. Kuamati gerak-geriknya dari balik seng lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering yang berserak di atas makam dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekelilingnya. Setelah bersih, ia duduk bersimpuh. Hening. Tak lama kemudian, terdengar lantunan ayat suci menggeletarkan udara pagi.
Terakhir kali aku melihatnya minggu lalu. Cuaca ramah waktu itu. Angin berhembus sepoi. Sinar matahari senja menyibak rindang pohon kamboja. Jatuh di tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut batu nisan. Dari jendela kamar, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu.
* * *
Aku lahir dan besar di rumah ini. Dindingnya satu meter terbuat dari bata selebihnya adalah anyaman bambu yang sudah berdebu. Lantai semen. Atap seng karatan. Kalau hujan, kami sibuk menadahi tetesan air dari lubang atap dengan ember atau baskom. Antara ruang tamu dan ruang makan disekat sebuah lemari tua. Di sebelah kanan, dua kamar tidur sempit pengap. Dapur dan kamar mandi teronggok di belakang, dikelilingi seng-seng bekas.
Ada cermin oval yang menyatu dengan lemari baju di kamar depan. Aku jarang menggunakannya. Bukan karena malu melihat uban tumbuh bagai cendawan di musim hujan, mata cekung, atau gurat-gurat usia di dahi. Jika menatap wajahku dalam cermin, aku seperti melihat kegetiran-kegetiran yang menahun. Setengah abad lebih kujalani hidup dengan berkelahi melawan takdir sebagai orang melarat.
Orang-orang mengenalku sebagai kuncen kuburan. Kadang aku bingung, kenapa kuburan seluas itu dilimpahkan padaku untuk mengurusnya? Apa karena rumahku dekat kuburan? Atau tugas itu diwariskan turun-temurun setelah bapak meninggal?
Aku kerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Tukang loak, penggali sumur, kuli bangunan, dan kerja kasar lainnya silih berganti kulakoni. Asal asap dapur tetap mengepul, aku sudah bersyukur. Istriku berjualan pecel di depan rumah. Hasilnya pas-pasan. Untuk biaya sekolah empat anak kami, harus putar otak lebih keras lagi.
Rezeki macam itu datang jika ada orang meninggal. Ada yang tergopoh-gopoh mencariku, minta digalikan liang lahat selekas mungkin. Walau sedih mendengar kabar duka itu, tapi jujur saja, hatiku girang. Terbayang upah gali makam yang bisa ratusan ribu. Tentu saja tak setiap hari ada yang meninggal. Hari-hari berikutnya, aku blingsatan lagi. Kehabisan uang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Mau pinjam tetangga, jelas malu. Hutang masih menumpuk. Saat-saat terpojok itulah, pernah tercetus doaku, "Semoga ada yang mati, agar aku bisa dapat uang." Entahlah, rasanya doa itu keterlaluan. Aku seperti mengail rezeki di tengah air mata orang-orang.
Kalau otakku buntu, tak ada jalan keluar, aku pergi ke kuburan. Duduk terpekur di salah satu nisan atau di bawah pohon kamboja. Rasanya tenang dan damai. Hembus angin mengalirkan kenangan. Semasa kecil dulu, mendiang orang tuaku sering melarang main di kuburan sore-sore. Aku dijejali cerita-cerita seram tentang hantu, kuntilanak, pocong, wewe gombel, dan sebagainya. Tapi, syukurlah, seumur hidupku belum pernah bertemu mahluk-mahluk itu.
Menjelang bulan puasa dan ketika hari raya Lebaran tiba, peziarah berdatangan untuk nyekar. Mobil-mobil licin mengkilap berderet di depan gerbang kuburan. Kata bapak, banyak juga yang datang dari luar kota. Saat itu aku diizinkan bekerja membersihkan makam-makam yang kotor. Aku mengantongi uang banyak waktu itu.
Roda hidup terus berputar. Semua yang kualami dulu kini terulang kembali. Keempat anakku sering kumarahi agar jangan main layangan atau petak umpet di kuburan. Menjelang bulan puasa dan saat Lebaran, kulepas mereka untuk cari uang jajan sendiri. Selebihnya, kuburan ini kembali diselimuti sepi. Ngelangut dan lirih.
* * *
Jamaah bubar dan berpencar usai salat Jumat. Aku kaget melihat sosok anak muda itu di tempat penitipan sandal. Ia sedang antre di kerumunan. Mungkin dalam masjid tadi dia duduk di deretan belakang hingga aku tak melihatnya. Penasaranku kambuh. Kutunggu dia keluar masjid. Apakah siang ini dia mau ziarah? Jarak masjid dan kuburan tak seberapa jauh, bisa dikerjakannya sekali jalan.
Dia melintas di depanku. Timbul niat untuk mengetahui ke mana ia akan pergi. Aku berjalan di belakangnya. Langkahnya ringan, sambil sesekali menabuhi daun-daun. Sementara dalam perutku ada genderang ditabuh. Kuayun langkah lebih cepat, hingga bersisian dengannya. Dia menengok dan tersenyum ramah. Aha, kupikir ini awal yang bagus.
Mau ziarah, Dik?!" tanyaku datar dan santun. Roman wajahnya berubah.
"Eeh, iya. Kok, Bapak tahu?" Kujelaskan bahwa rumahku persis di sebelah kanan kuburan. Aku tahu jika ada yang ziarah. Dia mengangguk-angguk, tak menyangka selama ini ada yang memperhatikannya.
Tanpa kuminta, dia mulai bercerita. Namanya Hasan. Ia tinggal di kampung seberang. Makam itu adalah makam ibunya yang meninggal dua tahun lalu. Di sisa-sisa napasnya, beliau minta dikuburkan dekat orang tuanya, kakek dan nenek Hasan. Lunas sudah pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benakku selama ini.
"Kita lewat sini saja, Dik." Aku menunjuk sebuah gang. "Ini jalan pintas menuju rumah masa depan," candaku. "Rumah Bapak di ujung gang ini. Lain kali, lewat sini saja untuk menghemat waktu." Tanpa banyak tanya, Hasan mengikuti langkahku.
Kami menyusuri gang sempit berkelok-kelok. Kuajak Hasan singgah sesampainya di gubukku. Lapar sudah di puncaknya, tapi dia menolak waktu kutawari makan bersama. Setelah istriku ikut membujuk, akhirnya Hasan luluh juga.
Usai makan siang, kami istirahat di depan gubuk. Kuburan di sebelah kanan kelihatan jelas dari tempat kami duduk. Hanya dibatasi sepetak tanah. Kami sempat ngobrol ngalor ngidul, sebelum Hasan mengisahkan latar belakang dirinya.
"Saya sangat berdosa pada ibu." Pandangannya menitik hampa ke tanah. Ada induk ayam dan tiga ekor anaknya yang menciap-ciap minta makan. "Semasa hidupnya, saya banyak menyakiti hati ibu. Mabuk, bikin onar di kampung, pinjam uang ke sana-kemari dengan alasan dibuat-buat, hutang rokok numpuk di warung." Kulihat Hasan membuang napas gelisah, kemudian menyambung ceritanya, "Akhirnya orang-orang datang ke rumah, menagih langsung pada ibu. Beliau banyak menanggung malu. Sudah sering saya dinasehati, bahkan pernah dicaci maki, tapi dasar saya anak tak tahu diri."
Aku bengong. Entah harus percaya atau tidak pada ceritanya. Perkenalan kami baru seumur jagung, tapi dia enteng saja menabur keluh kesah. Sempat terbersit curiga. Zaman sekarang banyak penipu yang mengincar mangsanya tanpa pandang bulu. Aku harus waspada.
Hasan terus saja berceloteh. Tentang liontin berlian ibunya yang dicuri lalu dijual murah, padahal benda itu warisan mendiang kakeknya. Dia juga merasa sebagai biang keladi yang menyebabkan ibunya cepat meninggal. Tentang kebiasaannya ziarah untuk mendoakan ibu sekaligus menebus dosanya. Tentang hidupnya yang kini lontang-lantung. Ia malu pulang ke rumah. Namanya sudah tercemar. Tak ada lagi yang mempercayainya. Orang-orang yang dulu lengket di sisinya saat ia banyak uang, kini hilang entah ke mana. Juga tentang niatnya merantau dan kerja apa saja asal halal.
* * *
Senja ramah. Angin sepoi. Sinar matahari tak begitu menyengat. Aku dan Hasan duduk berhadapan di sisi makam, membaca doa bersama. Lantunan suara kami melayang dibawa angin. Sepasang kupu-kupu kuning terbang rendah. Meliuk-liuk lalu hinggap di batu nisan. Aku tercekat. Kulirik Hasan, namun dia seperti tak menyadari kehadiran sepasang mahluk lemah itu.
Usai berdoa, Hasan pamit. Ia menjabat tanganku seraya mengucapkan terima kasih. Sepintas kulihat matanya memerah. Aku termangu, haru melepasnya. Ia berjingkat melewati nisan demi nisan. Maghrib menjelang ketika Hasan telah lenyap dari pemakaman. Ah, seandainya aku ada uang, tentu sudah kuselipkan di saku bajunya.
Entah ke mana tujuan Hasan. Entah di mana tidurnya malam ini. Entah bagaimana dia makan. Aku merasa bersalah. Seharusnya jangan terlalu cepat mencurigai anak itu. Aku menyesal hanya jadi pendengar yang baik saat dia bercerita, padahal apa susahnya memberi nasehat agar dia jangan terlalu lama menyesali keadaan, agar dia bangkit menebus kesalahan, agar dia rajin mendoakan almarhumah ibunya. Ah, mudah-mudahan kami bisa bertemu lagi, suatu saat nanti, di kuburan ini.
Dua kupu-kupu kuning telah raib dari tempatnya. Angin mendesau lirih. Sekuntum bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara yang kering. Kupandangi bunga putih bersih itu. Tiba-tiba aku terhenyak menatap tulisan di batu nisan. Di bawah nama almarhumah ibu Hasan, terpahat tanggal dan bulan kelahiran yang sama persis dengan kematiannya.


S E L E S A I

Selengkapnya...

Nayna dan Cangkir Kopi

Aku hanya menyisakan gigil di beranda rumah. Kopi di cangkir telah dingin dan laron-laron mati di bawah cahaya neon. Sedari tadi aku menunggu kantuk yang tak datang-datang. Ranting pohon rambutan di hadapanku menjelma ribuan kepompong yang bergelantungan serupa harapan. Tak ada suara kecuali dengung nyamuk dan tetesan ledeng bocor dari rumah tetangga.
Saat-saat seperti inilah aku selalu terkenang padanya. Pada beranda yang kerap menjadi panggung saat memainkan tiap babak tentang Nayna. Tentang mimpi-mimpi dan permainan api. Juga sesekali tentang warna sandalnya yang lucu. Lalu kami tertawa menunggu hujan reda di beranda.Nayna, tahukah kau, saat kulihat di kedalaman matamu. Bunga-bunga sedemikian mekar di halaman, angsa-angsa menari, kupu-kupu meneguk rumpun sari. Kita tak pernah peduli matahari telah terlalu lama pergi.
Masih diberanda ini. Cangkir kopi yang sama saat Nayna menyuguhiku dengan kopi yang kemanisan. Selalu begitu meskipun ia tahu betapa aku tak pernah benar-benar menghabiskannya. Lalu ia mencicipi dan mengacungkan jempol meyakinkan bahwa kopi buatannya begitu nikmat.
“Jangan terlalu banyak kopi, takarannya kukurangi dan gulanya kutambah.” Katanya sambil mengaduk cangkir itu sedemikian lama hingga gulanya benar-benar larut. Ah, Nayna. Hal yang sepelepun membuatku sebegitu haru mengenangmu.
Barangkali segala macam cara telah tuntas kulakukan. Bertumpuk surat cinta telah pula kutuliskan, namun tak pernah benar-benar bisa kusampaikan. Sudah tujuh tahun beranda ini menjadi penjara yang kejam. Tujuh tahun sudah kekangenanku menjadi kutukan. Sakit. Disini, beranda ini kini serupa patung-patung putih yang berusaha mengucapkan diri dan kenangannya tentang seseorang. Seseorang yang pernah duduk di beranda ini dan meninggalkan semacam rasa perih dan kerinduan yang tak bisa berhenti, tak terobati.
Beberapa tahun lalu pernah kudengar Nayna akhirnya menggapai cita-citanya menjadi guru bagi anak-anak terbelakang di pedalaman Kampar Hulu, Kabupaten Indragiri Riau. Tapi bagaimana mungkin aku menyusulnya? Sementara ia sudah beranak dua dan lelaki selingkuhan yang menjadi suaminya itu telah membuatnya bahagia?
Lelaki yang dulu potretnya secara tidak sengaja kulihat di dompetnya. Lelaki yang dulu sempat membuatku menampar Nayna dan menerbangkan seribu sayap kupu-kupu di beranda rumah. Lelaki yang memiliki penghasilan yang baik karena bekerja sebagai mandor perkebunan sawit. Lelaki yang berhasil membuat Nayna melawan rezim keluarga dengan minggat kawin lari seusai wisuda.
Namun sungguh, aku mengenal Nayna sangat dalam. Ia memilih jalan hidup sendiri seperti impiannya tempo hari di beranda ini. Menjadi guru, mengajari anak-anak membaca buku, mengajaknya mengenal angka, dan sesekali berlatih menari. Tapi Nayna tak mau melakukannya di kota ini. Katanya, di kota ini guru-guru sudah sulit sekali dikenali. Guru-guru disini hanya berpikir besarnya tunjangan dan kenaikan gaji. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Diam-diam akupun merajut impian baru, di pedalaman. Ya, di pedalaman agar akupun bisa mengikuti kibas sayapnya. Tapi menjadi apakah aku? Penebang hutan? Pengumpul rotan? Ilmuwan? Atau seorang buya yang mengajarkan agama?
Semakin larut. Bunga-bunga rambutan bergoyang diantara dedaunan. Masih dengan dengung nyamuk dan tetesan ledeng bocor dari rumah tetangga. Cangkir kopi di depanku semakin mengarca diantara derit kursi bambu yang kududuki dengan gelisah. Nyala rembulan semakin tampak setelah lindap dibalik awan pekat. Hujan setengah malam adalah perihal biasa di kota Sungai Penuh. Mungkin di kota kecil yang dikelilingi jejeran Bukit Barisan ini hujan turun sepanjang tahun. Aku dan Nayna sepakat bahwa hujanlah yang kerap memperpanjang durasi setiap pertemuan.
* * *
Stasiun Gambir sudah ramai di pagi hari. Aku memesan tiket ke Yogyakarta jam 2 siang. Masih tersisa setengah hari untukku menunggu kereta Senja Utama. Setelah kepergian Nayna aku memang kerap meninggalkan kota Sungai Penuh untuk sekedar melanjutkan hidup jika tidak ingin disebut melarikan diri dari kenyataan apalagi frustasi, lalu terbunuh sepi. Begitu sakit aku kehilangan Nayna, terlebih jika mengenang bahwa aku sempat menghitung berapa jumlah pori-pori pada tubuhnya. Benar kata orang bahwa kulit itu adalah candu.
Aku memesan makanan dan kopi di warung padang sambil membuka-buka koran pagi menghilangkan kebosanan. Beberapa pengamen datang bergantian tanpa sepeserpun yang kuberikan. Aku begitu malas mendengarkan apapun pagi ini. Tidak juga suara wanita sales obat kuat yang berdandan seksi.
Beberapa halaman koran kulumat diantara kepulan asap. Menunggu membuat asbak didepanku begitu cepat penuh dengan puntungan-puntungan. Beberapa tahun terakhir aku memang begitu akrab dengan suasana perjalanan. Aku tidak menyalahkan Nayna yang menyebabkanku tidak tahu kemana harus pulang.
Kereta Senja Utama datang enam jam lagi. Biasanya selepas senja kereta ini akan menurunkan penumpang di Stasiun Tugu Yogyakarta. Lalu aku akan mampir di jalan Pajeksan membeli dua atau tiga liter lapen untuk dibawa pulang dan meminumnya hingga tuntas memakai cangkir putih di beranda. Berusaha menanggalkan kenangan kopi manis buatan Nayna.
Tapi rupanya aku ini memang laki-laki keturunan bengal. Justru mabuk semakin membuatku meracaukan segala perihal tentang Nayna. Tentang Nayna dan seribu sayap kupu-kupu di Taman Nasional Kerinci Seblat nun di belantara Sumatera.
Di depanku melintas-lintas berbagai macam asongan. Mulai dari rokok, makanan, ikat pinggang dari kulit buatan, hingga pernak-pernik murahan. tiba-tiba mataku seperti tertusuk ranting yang runcing. Dadaku berpacu mencari tahu. Di balik keramaian orang-orang aku melihat perempuan berkerudung kuning menyelinap menawarkan dagangannya. Aku berdiri mendekati perempuan itu. Wajahnya kian jelas, namun aku tidak begitu yakin bahwa aku benar-benar mengenalnya. Nayna-kah itu? Hatiku dilanda puting beliung, menghamburkan bertumpuk rasa sakit dan nyeri yang asing. Bagaimana mungkin Nayna ada di Stasiun Gambir dan tiba-tiba menjadi penjual roti?
Wajah perempuan itu semakin kentara dibalik kerudung kuningnya yang lusuh. Tubuhnya yang ramping terlihat kurus dibalut kaos bergaris tipis. Ia menjinjing dua keranjang penuh roti beraneka rasa. Ah, tidak mungkin itu Nayna. Alisnya yang runcing semakin kukenali meski matanya tak lagi bening seperti dulu selalu kutelusuri demikian dalam. Wanita itu belum melihatku, ia masih berusaha meyakinkan kepada setiap orang di depannya bahwa roti yang dijualnya masih hangat dan nikmat.
“Nayna!”
Wanita itu melihat kearahku. Aku yakin sekali bahwa keterkejutannya tidak kalah dengan yang kurasakan. Namun sungguh, ia tampak begitu tenang. Ia mendekatiku.
“Rotinya, Mas? Ada roti sirup, coklat, pisang… dan ini rasa kopi. Silahkan mau yang mana. Lumayan buat sarapan atau bekal di jalan. Nanti kalau di kereta mahal lho.”
“Nayna?”
“Harganya murah lho, Mas. Cuma dua ribu lima ratus kok.”
* * *
Musholla Baiturrahmah di pojok benteng kidul alun-alun Yogyakarta selepas sholat isya masih terdapat beberapa jama’ah istiqomah yang belum beranjak pulang. Mereka sengaja aku undang untuk menjadi saksi pernikahanku dengan Nayna. Hanya ada beberapa piring penganan dan minuman gelas yang kusuguhkan. Aku dan Nayna telah menikah siri malam ini dan Ustdaz Ramlan yang biasa mengimami sholat yang menjadi penghulunya. Cara ini terpaksa kami tempuh meski aku tahu betul bahwa Majelis Ulama telah memfatwakan haram.
Malam ini aku resmi menjadi suami Nayna. Tak satupun keluarga kami yang tahu perihal pernikahan ini. Kami masih terlalu pengecut untuk memberitakannya kepada keluarga di kampung. Biarlah kami menikmati masa-masa indah ini dengan cara kami sendiri. Waktu-waktu yang begitu aku nantikan setelah tujuh tahun kesakitan. Aku telah memiliki Nayna seutuhnya. Juga Lukman dan Syahril yang kini telah kuanggap sebagai anakku sendiri meski mereka masih belum terbiasa memanggilku Bapak.
Kami tinggal di rumah kontrakan tidak jauh dari musholla itu. Nayna tidak lagi menjadi penjual roti di Stasiun Gambir seperti yang kutemui dua minggu yang lalu ketika transit perjalanan dari kota Sungai penuh menuju Yogyakarta. Sebuah perjalanan yang tidak seperti biasanya. Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu Nayna di tempat yang tidak pernah aku duga. Aku juga tidak pernah membayangkan nasib Nayna menjadi sedemikian rupa. Aku sungguh-sungguh tidak peduli dengan statusnya sebagai janda beranak dua yang terlunta-lunta di Jakarta dan bukan lagi seorang guru bagi anak-anak buruh sawit di Sumatera.
Nayna di Jakarta hendak mencari kerja karena suasana pelosok Kampar sudah tidak lagi memberi kenyamanan baginya. Suaminya meninggal beberapa bulan lalu tanpa ada tetangga yang mau menguburkannya. Tidak juga seorangpun yang datang melayat atau memberi ucapan belasungkawa. Kematian yang benar-benar mereka anggap hina. Ia memilih Jakarta karena berusaha mengubur rasa trauma dan sakit hati dengan rimba ibukota. Entahlah, Nayna memang selalu begitu, selalu menganggap dunia begitu mudah ditaklukkan.
Di ibukota ia terpaksa berjualan roti keliling karena Jakarta menolak mentah-mentah ijazah PGSDnya. Ia tidak punya muka jika harus kembali ke kota Sungai Penuh dan meminta maaf kepada orang tua. Juga tidak berniat kembali ke Kampar dengan menyimpan alasan yang enggan ia ceritakan. Aku tidak bertanya, tapi aku yakin suatu saat ia pasti akan menjelaskan semuanya. Lagipula masih banyak waktuku bersama Nayna setiap harinya untuk menumpahkan segala Tanya.
* * *
Empat tahun berlalu sejak pernikahanku dengan Nayna. Nayna menjadi ibu rumah tangga yang baik yang menyeduhkan kopi untukku setiap harinya. Tidak lagi dengan cangkir putih seperti dulu, namun masih dengan rasa yang sama, sedikit kopi dengan banyak gula. Lukman dan Syahril sudah bersekolah dan sudah memanggilku dengan sebutan Bapak. Anak kami yang ketiga perempuan bernama Suci baru pandai berjalan.
Nayna masih terlihat cantik meski tubuhnya semakin kurus. Begitupun aku dan anak-anak kami. Padahal aku selalu memberikan uang untuk membelikan makanan yang memenuhi standar gizi. Namun masih saja kami sekeluarga mengalami penurunan berat badan yang tak bisa berhenti. Sesekali diantara kami bergiliran merasakan mual, muntah-muntah, dan terkadang hingga tiba-tiba menjadi gampang lupa. Rambut Nayna semakin banyak yang rontok, menjelang subuh nafasnya kerap tersengal-sengal dengan batuk yang berat. Pagi hari aku ke apotek membeli obat TBC, lalu batuk itu reda untuk beberapa hari kemudian kumat lagi.
Suatu malam Nayna mengeluh jika pangkal pahanya nyeri dan gatal-gatal, mungkin berjamur. Ia mengolesinya dengan salep herpes sisaan obat Lukman untuk sekedar menghilangkan gatal. Tapi ternyata hal itu terus berlanjut hampir tiap malam menjelang kami tidur. Nayna selalu mengeluh dengan gangguan di pangkal pahanya. Keesokan harinya aku mengajaknya ke Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, khawatir jika penyakit itu tidak kunjung sembuh meski telah di beri salep herpes dari apotik.
“Positif.”
Aku benar-benar gila mendengar penjelasan dokter. Nayna positif mengidap AIDS. Dan itu artinya aku, Lukman, Syahril, dan Suci juga positif tertular AIDS. Aku tidak lagi mendengarkan penjelasan-penjelasan dokter berikutnya. Yang kubayangkan adalah kengerian seperti yang pernah kubaca dan kusaksikan di televisi tentang kehidupan seorang penyandang penyakit yang paling menakutkan. Penyakit yang telah merenggut begitu banyak masa depan sekaligus harapan. Penyakit yang selalu dianggap begitu menjijikkan. Mungkin ia ditulari oleh suaminya yang dulu. Barangkali inilah penyebab Nayna enggan pulang ke Kampar Hulu karena para tetangga sudah tidak mau bergaul dengan dirinya. Juga salah satu alasan kenapa ia begitu malu bertemu dengan orang tua.
Di ruang periksa, sayup-sayup aku mendengar suara ranting patah dan cangkir kopi yang pecah.

SELESAI

Selengkapnya...