Sabtu, 29 Agustus 2009

Menjemput Impian

Oleh : Boedi Poernomo


Debur ombak silih berganti memecah tepian pantai Karang Song. Menggiring buih pada hamparan pasir putih yang terserak. Angin utara menyapa lembayung senja yang merona di kaki langit. Sekumpulan camar berkicau riang melayang di antara buih. Damai.
Rodiah hanya sendirian diantara bongkahan – bongkahan batu yang begitu kekar menangkis ombak. Gadis manis anak abah Carba –nelayan miskin di ujung kampung- itu begitu menikmati detil-detil irama ombak pantai utara. Dentuman-dentuman ombak itu seolah dengung gong yang menggerakkan setiap persendiannya. Gemerisik pasir itu seperti ketukan nayaga yang selaras dengan keluwesannya. Tubuh ramping Rodiah terus bergerak melupakan kepenatannya. Rambutnya berkibar-kibar seperti selendang yang mengikuti alunan nada. Terkadang Rodiah tertawa seperti Raksasa, terkadang berlagak bagai seorang kesatria, sesekali ia berubah menjadi puteri raja. Rodiah terus menari menatap samudra. Rodiah menari menjemput senja. Rodiah menari menggapai asa.
Selalu di setiap senja. Dan ini adalah senja yang ke-sekian ribunya ia jelang dengan sebuah tarian. Terkadang untuk lebih menjiwai setiap tariannya, Rodiah membuat topeng dari kertas yang ia gambar sendiri sesuai karakter dalam setiap tariannya. Topeng Kelana dengan spidol berwarna merah, Samba putih polos, Rumiyang dengan spidol merah jambu, Panji dengan garis-garis tipis, Kemenggung berwarna coklat dengan guratan kumis, sedangkan Kelana Udeng ia buat dari potongan kardus bekas minuman.
Ia tak pernah belajar menari. Tapi senja di batas samudra telah mengajarinya setiap gerakan-gerakan penuh estetika. Warna jingga di tepian cakrawala telah menuntun langkah kakinya penuh irama. Bongkahan karang telah menjadi panggungnya selama ratusan purnama. Umang-umang telah menjelma menjadi pengagumnya paling setia.
Menjadi Penari Topeng. Itulah impian yang selalu ia bisikkan pada angin gersang. Ia berharap angin itu akan menerbangkan impiannya menuju panggung dunia. Menari di tengah lautan manusia. Mengenakan kostum lengkap dengan topeng di wajahnya. Melangkahkan kaki diiringi para nayaga. Disaksikan oleh para tamu istimewa. Menjadi duta pariwisata ke mancanegara. Mendapat penghargaan budaya dan segala macam peristiwa yang membuat dirinya menjadi Maestro yang melegenda.
Entahlah, barangkali ia hanya akan menjadi penari topeng yang setia menghantar lelapnya matahari di ujung lautan. Atau mungkin angin tak pernah benar-benar menerbangkang impiannya, agar Rodiah bisa menemaninya membelai tiap lekuk pantai Karang Song. Seorang gadis di pinggir pantai menarikan irama lautan adalah sebuah keistimewaan paling berarti. Setiap sendi yang bergerak mengikuti laju ombak ke tepian adalah keindahan paling sejati. Namun tak seorangpun bisa menikmati. Tak sekejap matapun yang peduli.
Namun, Rodiah tetaplah Rodiah. Seorang gadis miskin yang hanya memiliki panggung batu karang dengan riuh rendah umang-umang serta sebuah ilustrasi tepuk tangan yang selalu melegakannya setiap kali melangkah pulang. Tapi Rodiah baru benar-benar pulang bila senja telah menghilang. Ia selalu ingin menjadi orang terakhir yang menyaksikan matahari tenggelam. Dan selalu ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan pergantian malam di Karang Song. Sudah sejak dulu Abahnya memaklumi kebiasaan anaknya ini. Ya, sejak kepergian Mimi, senja Karang Song telah menjadi sahabat paling akrab tempatnya mencurahkan segala perasaan. Seperti sore ini ketika Rodiah baru saja sampai di teras rumah. Abah menyambutnya dengan senyum ramah.
“Sore ini pemandangan senjanya tidak sebagus kemarin, bah.” Katanya sambil menuju sebuah kursi rotan yang sengaja diletakkan diruang tamu, sebagai pemanis. Kursi itu adalah kursi satu – satunya yang mereka miliki. Abah melirik ke luar rumah, dilihatnya langit dengan raut wajah yang sedih.
“Abah tidak melaut?” Tanya Rodiah heran, sebab biasanya lepas maghrib abah sudah berkemas untuk melaut.
“Tidak nok, air laut pasang, takut ada badai.” Kata abah.
Rodiah tak bertanya lagi, sejurus kemudian, ia bangkit meninggalkan abah yang tengah sibuk melipat jaring. Beberapa pekerjaan rumah tangga tengah menanti melengkapi keletihannya setelah seharian kerja di pengolahan ikan asin milik Bi Kusni. Jika hari-hari biasa ia hanya bekerja sepulang sekolah. Namun ini hari minggu, hingga ia harus bekerja seharian dari pagi. Beruntung sekali Bi Kusni masih mau mempekerjakan gadis belia seperti dirinya, jika tidak entah ia tak bisa membayangkan bagaimana beratnya beban yang harus dipikul oleh Abah. Lamat-lamat tembang Bang Toyib bergemerisik dari radio tetangga. Lampu-lampu mulai menyala.

* * *

Teeett….!!!
Bel masuk sekolah berbunyi. Rodiah tergopoh-gopoh berlari memasuki ruang kelas. Tidak seperti biasanya ia terlambat. Ia harus berjalan kaki sejauh enam kilometer untuk sampai ke sekolah karena ingin menghemat ongkos. Biasanya Rodiah dan teman-teman sekampungnya berangkat ke sekolah naik angkot. Namun abah sudah hampir seminggu tidak melaut. Itu artinya tidak ada pemasukan dari Abah. Sedangkan upah dari Bi Kusni hanya ia terima sebualan sekali setiap tanggal lima belas yang biasanya langsung di gunakan untuk nyaur di warung sembako langganannya.
Hari itu memang bukan hari biasa bagi Rodiah. Di sekolahpun Rodiah tampak murung dan menyendiri. Waktu istirahatnya hanya ia habiskan dengan coretan-coretan kecil di meja tulis. Beberapa teman mengajaknya ke kantin, namun ia menolaknya dengan berbagai alasan. Tanpa sadar ternyata coretan-coretan di bangku itu telah berubah menjadi potret sebuah keluarga kecil. Abah, Mimi, dan dirinya. Sebutir bening menetes di sudut matanya. Berbagai pikiran tentang masa lalu dan impian silih berganti menjerumuskannya dalam diam yang panjang.
Mimi adalah seorang Ibu yang mulia dan Istri yang Soleha bagi ayah. Ia selalu bersyukur dan menerima berapapun jumlah penghasilan Abah dari Melaut. Pernah suatu ketika Abah pulang tanpa membawa apa-apa meski tak sebutirpun beras ada di penjaringan mereka. Tapi Mimi menyambutnya dengan tersenyum berusaha mengerti dengan perjuangan Abah. Mereka melewati malam itu dengan semangkuk mi rebus yang di bagi untuk bertiga.
Ah, coba seandainya Mimi masih ada, jerit bathinnya. Lalu kenangan-kenangan berlintasan di benak rodiah. Ah, Mimi. Lihatlah anakmu ingin sekali menjadi seorang penari. Aku ingin menari di Alun-alun, di tengah lautan manusia seperti yang kita saksikan sepuluh tahun yang lalu. Mi, bawa aku dari tempat ini! Batin Rodiah makin meronta.
Mimi meninggalkannya sehari setelah Rodiah kecil mengutarakan keinginannya untuk menjadi seorang Penari Topeng sepuluh tahun yang lalu. Kepergian seorang ibu adalah kehilangan yang besar bagi seorang anak. Terlebih ketika itu usia Rodiah baru menginjak enam tahun. Usia yang sangat rawan bagi perkembangan seorang anak. Kata Abah Mimi pergi untuk bekerja. Namun selama sepuluh tahun kepergiaanya tak pernah sekalipun ada kabar berita. Tak ada surat, telegram, ataupun sekedar kartu pos yang sampai ke rumahnya. Dua tahun yang lalu, seorang tetangga kampung yang baru pulang dari Taiwan mengaku pernah bertemu Mimi di sebuah tempat di sudut kota Macau.
Traakk…! Tiba-tiba saja pensil yang digenggamnya patah. Rodiah tersentak dari pikiran-pikiran itu. Ia langsung ingat dengan Abah di rumah. Entah kenapa ia ingin sekali segera pulang dan merebahkan dirinya di pelukan Abah. Barangkali patahnya pensil itu hanyalah sebuah kebetulan saja, namun sungguh Rodiah merasa bahwa itu adalah suatu pertanda patahnya sebuah harapan dan cita-cita. Ah, Rodiah merasa bahwa bel pulang sekolah hari ini terasa begitu lama dan medebarkan. Ia sudah tak sabar untuk segera bertemu Abah meski tanpa alasan yang pasti.
“Abah mau melaut ya?” pertanyaan itu spontan keluar dari mulut Rodiah begitu sampai di rumah mendapati Abah tengah mempersiapkan peralatan nelayan. Tubuh abah masih menyisakan kegagahan di balik kaos tipis yang di kenakannya. Ia adalah sosok lelaki yang kuat dan seorang ayah yang bijak. Sepeninggal Mimi, Abah kerap mendapat godaan dari beberapa perempuan, namun Abah adalah seorang lelaki yang bertanggung jawab. Ia memilih untuk menghabiskan sisa umurnya bersama anak semata wayangnya, Rodiah.
“Abah, bagaimana jika di laut terjadi sesuatu?” Rodiah semakin khawatir. Abah menghentikan pekerjaannya. Sejenak ia menatap Rodiah dalam-dalam. Di usapnya keringat yang menempel di kening anak kesayangannya itu.
“Nok, kamu pasti capek karena berangkat sekolah berjalan kaki. Istirahatlah, abah akan melaut. Meskipun pasang, abah harus tetap melaut. Kamu jangan khawatir, semoga saja tidak terjadi sesuatu pada Abah. Do’akan saja ya nok, supaya bapak bisa pulang dengan selamat dan membawa uang banyak.”
Rodiah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya berusaha untuk menguatkan hatinya. Ada yang aneh dari binar mata Abah. Abah seolah-olah menyembunyikan sesuatu darinya. Seperti sebuah penyesalan tiada tara. Namun ia berusaha menutupinya, tak ingin Rodiah menaruh curiga kepadanya. Abah melangkah berat meninggalkan Rodiah. Rodiah menatap punggung Abah benar-benar tak rela melepas kepergiannya. Rodiah merasa ada keganjilan dengan keputusan Abah yang nekat untuk tetap melaut, padahal baru kemarin Abah mengatakan bahwa ia takut ada badai. Dari balik sudut gelap di ujung gang rumah mereka Abah menangis menahan pedih. Mata laki-laki itu tak lepas dari sosok anaknya yang masih terpaku di teras rumah. Maafkan Abah,nok. Abah melakukan ini karena ingin melihatmu bahagia, bisik hatinya.

* * *

“Rodiah. Apa kamu sudah siap?” Rodiah tak mengerti dengan maksud pertanyaan lelaki yang kini tiba-tiba hadir di depannya. Rodiah sedikit bergidik melihat tampang lelaki asing itu. Lelaki hitam, berjas hitam dengan asap yang terus mengepul dari bibirnya yang juga menghitam.
“Saya Tarsa. Lengkapnya Sutarsa. Segeralah berkemas, besok pagi kita berangkat. Malam ini kita akan mengadakan gladi bersih terlebih dahulu.” Rodiah semakin tidak mengerti dengan ucapan lelaki asing itu.
“Begini, secara diam-diam kami sering memperhatikan tarian-tarianmu di pinggir pantai. Menurut kami, kamu adalah seorang penari berbakat alami. Kemahiranmu benar-benar menakjubkan. Sungguh sangat sayang apabila bakat itu di abaikan. Kebetulan kami tengah membutuhkan seorang penari berbakat alam dalam rangkaian perjalanan budaya kami ke beberapa negara. Kami akan sangat bangga bila nok Rodiah mau bergabung bersama kami. Bagaimana nok”
Tiba-tiba Rodiah merasa bahwa tubuhnya melayang ke angkasa. Sepasang sayap menerbangkannya menembus mega-mega. Ia tak tahu harus berkata apa, angannya melambung dengan mata berkaca-kaca. Setengah takjub, setengah tak percaya. Berkali-kali Rodiah mencubit pipinya, berharap ini adalah nyata. Terima kasih senja, terima kasih angin gersang, terima kasih batu karang, terima kasih umang-umang.
Ah, Mimi. Terima kasih Mimi. Akhirnya hari ini tiba. Akhirnya gadis miskin ini menuju impiannya. Mimi, Rodiah akan membuat Mimi bangga. Abah, setelah ini Abah tidak perlu nekat melaut. Rodiah akan bersekolah dengan biaya sendiri dan tidak lagi berjalan kaki. Dan Bi Kusni, Maaf. Rodiah tidak bisa bekerja di gesek lagi. Terima kasih untuk kebaikannya selama ini.
“Ayo, nok. Kita sudah di tunggu.” Suara Tarsa mendaratkan kembali kesadaran Rodiah. Dengan tersipu Rodiah langsung berkemas. Ia tak perlu lagi berpikir panjang. Tak ada yang harus di pertimbangkan. Tak ada yang mesti ia rundingkan. Impiannya telah di depan mata. Sebuah kesempatan yang sudah bertahun-tahun ia nantikan. Inilah saatnya bagi Rodiah untuk memutar roda nasibnya. Rodiah Menyiapkan beberapa helai pakaian yang masih terasa pantas ia kenakan. Memasukkan beberapa perlengkapan yang masih layak ia gunakan kemudian mnitipkan pesan agar Abah tak kehilangan.
Rodiah masuk ke dalam Pick Up milik Tarsa dengan persaan berdebar. Hayalan-hayalan telah membumbungkan harapannya. Terbang setinggi-tingginya menjemput impian.
Duh, sing ora di sangka-sang.
Duh, sing ora di nyana-nyana…
Sebuah tembang Tarling lawas dari radio dua band milik tetangga mengantar kepergian Rodiah. Dari balik sudut gelap di ujung gang, sepasang mata menatapnya penuh luka. Mata itu sudah tak sanggup membendung kepedihan dan kesakitan. Sepasang mata yang penuh keputus asaan. Sebuah tangisan yang lebih dalam dari pingsan. Sebuah kesedihan menuju batas paling tepi dari sepi. Deras air mata itu merembes menetes diatas tumpukan uang dalam genggamannya. Sepasang mata itu adalah milik Carba. Abah Rodiah.

* * *

Rodiah membuka matanya perlahan-lahan. Kelopak mata itu begitu berat. Ia terkejut menyadari bahwa ia kini telah berada di sebuah ruangan dingin bersama beberapa orang gadis seusia dirinya. Mereka pulas meski tergeletak di atas lantai tanpa alas. Cahaya redup di balik tembok tak sampai setengahnya menyentuh ruangan ini. Di sudut kanan ruang terdapat sebuah tong plastik berisi air keruh penuh jentik-jentik nyamuk yang tak terhitung jumlahnya. Beberapa centi dari tong itu menganga pipa saluran yang menebarkan bau pesing bercampur tinja ke segenap ruang.
Rodiah tersentak dengan kepala pusing bukan kepalang. Ada sesuatu yang tercekat di tenggorokannya sehingga susah baginya untuk bersuara. Ia membangunkan seseorang di sampingnya. Tubuh gadis itu nyaris setengah telanjang. Beberapa memar terlihat di pipi kanan dan pundaknya. Sementara di sudut bibirnya yang pecah ada darah yang mongering. Entah apa yang terjadi dengan wanita malang itu. Rodiah berusaha menggoyang-goyangkan tubuh gadis itu, namun tak ada respon. Ia mengira gadis itu jika tidak terlalu lelap maka pasti gadis itu tengah pingsan.
Tiba-tiba ruangan itu gaduh oleh makian-makian dan tangisan dari seorang gadis lainnya di belakang Rodiah. Gadis itu meronta-ronta menahan sakit di kepalanya. Barangkali sakit yang sama dengan yang di rasakan Rodiah. Satu-persatu semua penghuni ruangan itu terbangun. Mereka histeris dalam kegaduhan yang semakin menjadi-jadi. Rodiah baru tersadar bahwa ia dan gadis-gadis lainnya kini tengah di sekap dalam ruangan yang tidak lebih manusiawi dari sebuah penjara bagi para pencuri. Rodiah mengernyitkan kening, mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja ia alami.
Malam itu Tarsa membawa Rodiah ke sebuah tempat yang begitu mewah. Pada awalnya ia diperlakukan bagai tamu istimewa. Sebagai gadis kampung yang memiliki impian besar, tentu saja perlakuan manis Tarsa membuat Rodiah terkesan dan percaya dengan segala ucapannya. Tarsa mengiming-iminginya dengan kemewahan dan sebentang jalan meraih impian. Namun justru impian-impiannya itulah yang menjebaknya ke dalam peristiwa-peristiwa pahit dalam hidupnya. Pertemuan dengan Tarsa adalah awal dari segala bencana yang di alami Rodiah. Ia tidak pernah tahu bahwa Abah telah menghargainya dengan segenggam rupiah. Ia juga tidak pernah tahu bahwa sepuluh tahun yang lalu Mimi juga mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Dimatanya, Abah tetaplah sosok lelaki yang mulia.
Ternyata Rodiah tak pernah diminta untuk mempertontonkan tariannya. Tarsa tidak benar-benar mengagumi tariannya. Tarsa ternyata adalah musuh humanisme yang memperdagangkan manusia. Ia tidak pernah menyangka bahwa impian telah membutakannya sehingga menjadi korban kemanusiaan. Kini, segala macam penyesalan bergelayut di kelopak mata Rodiah. Segala macam caci maki dan sumpah serapah takkan bisa menjadi diplomasi yang membebaskan dirinya. Keputus asaan tiba-tiba menjadi sahabat yang ingin segera di akrabi. Dalam kondisi seperti ini, masihkah sabar dan do,a menjadi senjata seorang hamba?
Tiga orang lelaki kurus bermata sipit mendekati ruang sekap Rodiah dan kawan-kawan. Masing-masing mereka membawa nampan besar. Satu membawa nasi, satunya membawa lauk dan kerupuk, dan satu lagi membawa air minum. Waktunya makan siang bagi Rodiah dan sahabat-sahabat barunya di ruang tahanan.
“Siang ini kalian orang makan pake telor mata sapi. Dan ini ada vitamin. Jangan lupa diminum.” Kata seorang lelaki itu dengan aksen Tionghoa. Di hari ke sembilannya ini, Rodiah mendapat menu lebih baik dari sebelumnya. Biasanya ia hanya makan pake tahu basi atau ikan teri. Namun yang paling sering adalah mie tawar yang sudah mengembang karena di rendam semalaman. Suka atau tidak suka mereka harus memakannya jika tidak ingin mati kelaparan. Dan vitamin? nah inilah pertanda sesuatu akan terjadi sebentar malam. Setiap tiga hari sekali mereka selalu memberi vitamin dan obat bagi para tahanan, namun pada malam harinya satu dua orang diantara mereka dibawa keluar dari ruang tahanan. Pagi harinya mereka kembali dengan rasa nyeri di selangkangan. Mereka kehilangan keperwanan. Lalu malam ini siapakah yang akan menjadi korban? Rodiahkah, Surti, Mawar, Nining, Sri, atau…? Hantu ketakutan mengurung mereka dalam ruangan empat kali empat tanpa ventilasi entah di belahan dunia mana yang tak pernah mereka ketahui.

* * *
Rodiah dan sahabat barunya kini berada di sebuah dermaga kecil. Hanya ada tiga kapal yang bersandar. Menurut desas-desus yang ia dengar, mereka akan di bawa ke Taiwan. Tapi juga ada yang mengatakan mereka hanya akan dibawa ke pulau seberang.

Bersambung…
Selengkapnya...

Minggu, 23 Agustus 2009

Spiritualitas Dalam Seni

I

Spiritualitas adalah apa yang telah menempa kita dalam seluruh cucuran keringat, air mata, doa, getir bahagia, harapan–kecemasan, jatuh–bangun, maki dan pujian, perjumpaan–kehilangan, semua hal yang pernah ditata dan hancur, atau segala hal yang pernah menggilas dan kita lawan habis-habisan, sebentang jurang atau seberkas cahaya dalam kegelapan… semua itulah yang membentuk spiritualitas ; sesuatu yang menjadi pribadi, khas, bersendiri, dan abai dari keramaian, lepas dari pasar dan industri, hiruk pikuk politik, dari segala kemegahan teori, ilmu pengetahuan, segala bentuk transaksi. Spiritualitas adalah sesuatu yang diam-diam sembunyikan dalam keheningan. Agar kelak, ketika ia harus bersatu dengan Sumber-nya, ia tetap terjaga meskipun boyak dan luka.

Spiritualitas adalah segala yang telah diberikan kehidupan kepada kita dan membuat kita memahami apa yang harus diberikan kepadanya. Sebagai manusia, kita memiliki kekayaan sekaligus keterbatasan, karena itu kita memilih. kita tidak mungkin mengambil dan meraih semuanya, juga pasti tidak bisa memberikan apa saja. Selembar daun jatuh ke tanah, diurai mikrooganisme menjadi humus, diserap dari akar ke batang, ke ranting, kembali ke daun-daun. Sekuntum bunga di puncak gunung yang tak terjamah akan tetap mekar pada musimnya dan memberikan harumnya kepada udara meskipun tak ada manusia yang melihatnya. Kesenian tidak ubahnya sebuah jalan darimana kita mengambil dan memberi sesuatu kepada kehidupan.

I I

Tetapi, ternyata jalan yang kita pilih ini memang bukan jalan tol dan itulah soalnya. Jalan yang kita tempuh ini adalah jalan yang pembangunannya sebagian besar hasil swadaya sendiri. Entah mengapa para pendahulu kita punya ide membuat jalan melintasi daerah-daerah yang memang susah di jangkau. Saking susahnya, bahkan hantu pun tak berani kesana. Bayangkan, jalanan ini belum diaspal, penuh batu-batu cadas, sempit, mengarah ke wilayah-wilayah pedalaman; jurang, lubuk hutan, rawa -meskipun sesekali ada angin semilir, ngarai yang indah, atau telaga –tetapi di situ penuh ular berbisa dan buaya. Berliku, menanjak, tak ada rambu atau tanda-tanda akan berakhir di mana.

Tetapi kita ini memang keturunan bengal dan tetap meneruskan menempuh jalan itu. Padahal pemerintah tak pernah bersungguh-sungguh mencantumkan jalanan itu dalam proyek pembangunan dan pemekaran wilayah. Hanya sesekali memang, kalau ada pihak pemerintah atau swasta yang ingin tamasya ke sebuah tempat yang kebetulan dilintasi jalanan kita ini; akan ada terang lampu, sedikit aspal untuk menutup lubang dan batu, atau kendaraan supaya tak terlalu capek dan berkeringat menuju lokasi. Inilah yang membuat kita sedikit santai dan ngaso.

Syukurlah pula ada teman-teman kita yang berhasil dengan susah payah mendapat sesuatu yang berharga –intan permata, bunga langka, atau biawak purba- lalu menunjukkan pada khalayak –dan mereka memperoleh sedikit kebahagiaan melihat orang-orang jadi senang dengan apa yang mereka dapatkan. Tapi bayangkan kalau kebetulan yang melakukan itu “para penempuh” yang belum berpengalaman lalu dengan niat baik kebelet untuk berpartisipasi membuktikan bahwa kerja mereka itu tidak sia-sia, datang kepada khalayak dan menunjukkan rumput duri yang mereka genggam sebagai anggrek langka. Alamat mereka akan dicibir dan kena-lah kita semua. Makanya tak jarang pula kawan-kawan kita jadi kecewa, lelah, lalu pamit dan kita cuma bisa melongok melihat jumlah mereka yang ngacir itu makin hari kian banyak tanpa bisa menyalahkan. Memberi keyakinan kepada orang yang capek dan kadung lembek itu kan nyaris sia-sia. Paling-paling kita Cuma bisa bilang: “Sabarlah, tuh lihat, sudah berapa banyak kawan-kawan yang selamat dan mendapat tempat-tempat yang istimewa, punya lampu mercusuar, menara-menara yang tinggi dan sering dikunjungi siapa saja…” tapi mereka bisa juga menjawab: “Iya kalau selamat, kalau mati di makan harimau, gimana?”. Setelah itu kita akan bergumam sendiri: “Memang payah kalau sudah lembek, melihat parit pun dia kira jurang.” Meskipun kita sendiri diam-diam sering pula gemetar. Tapi kalau tidak kita teruskan, apa kata orang-orang yang pernah mencibir kita? Dan apa kata kawan-kawan yang sudah lebih dulu sampai? Mungkin mereka akan mentertawai dan meyebut kita: “sepasukan kaki kuning yang serba canggung dan tanggung melangkah”.
I I I

Biografi kesengsaraan seorang seniman, kata Goenawan Mohamad, selalu punya pesonanya sendiri. Vincent Van Gogh dan Gauguin Modigliani, (yang meninggalkan kerjanya di bursa Paris lalu menjadi kuli di Tahiti) atau A. Nugraha (yang lari dari rumah kontrakannya, praktis berpisah dari isteri dan sering tergeletak di Panti Budaya, Indramayu) memproyeksikan sebuah citra yang dramatik bahwa kesenian bukanlah perkara yang main-main. Banyak orang mengorbankan hampir seluruh dirinya untuk itu. Atau setidaknya, di sana ada gandrung yang patologis seperti kisah orang suci dan sufi.

Van Gogh, salah seorang icon di jagat seni lukis, pada 1890, menembak perutnya sendiri di dekat seonggok rabuk tahi sapi di sebuah ladang di dusun Auvers-au-Oise, timur laut Paris. Dan tiga puluh enam jam setelah itu ia mati. Ia tewas dalam usia 37 tahun meninggalkan dunia dengan rombeng; putus asa, sendiri, depresi jiwa. Salah satu surat terakhirnya berbunyi: “Prospeknya kian gelap.” Tiga patah kata ini pulalah yang saya kira telah menyelinap ke balik setiap impian kita dalam seni dan bersiap menelikung kita kapan saja.

Tetapi, bagaimana kita membayangkan arti Vincent Van Gogh bagi kita kini, tanpa mengingat peran adiknya, Theo, yang bekerja di galeri tempat jual beli lukisan? Theo-lah yang dengan sabar mendampingi dan membantu kakaknya yang aneh dan keras ini. Tapi lebih dari itu, ia bisa dianggap lambang ketahanan dunia yang prosaik, datar, rutin, di luar seni, yang meyebabkan orang membeli, mengoleksi, membangun galeri, membuat museum –semacam cinta yang bengal. Dan Van Gogh mengakui hal ini, meskipun tak menghilangkan pesimismenya.

Lalu, di zaman yang makin pragmatis ini, siapakah yang mau bersusah-susah memainkan peran seperti Theo? Dan masih beranikah seniman yang hidup kini, di sini, mengambil sikap total dalam seni –meski tak harus bunuh diri- demi melahirkan sebuah karya yang sanggup menggetarkan manusia sebagaimana dilakukan Vincent Van Gogh?

Beranikah kita, dewasa ini, bersikeras bertahan dalam segala rasa nyeri untuk tetap berkarya secara sungguh-sungguh di tengah sinisme zaman seperti sekarang? Sanggupkah kita keluar dari “zona-aman” dan memilih menempuh hidup yang lebih ber-resiko di dalam seni meskipun tak bisa dijawab apa gunanya? Atau sudikah kita bersama-sama merayakan kebangkrutan kultural yang tengah disembunyikan dalam banyak agenda pembangunan di daerah ini yang seringkali membuat hati menjadi masygul itu?

I V

Ratusan abad silam, Socrates, Sang Pengawal Akal Sehat dan Pencinta Kebijakan itu, memilih mati menenggak racun daripada mengingkari kebenaran demi sebuah libido para pengurus Negara yang kadung paranoid terhadap setiap bentuk daya kritis yang berkembang. Pidato-pidato tajam dan pertanyaan-pertanyaan kritisnya lalu tak terdengar lagi di lorong-lorong kota Athena, di antara hiruk pikuk orang di pasar, di sela gempita rakyat mengelu-elukan pemimpinnya, di sisi para pemuda yang tampak pucat tersaput kabut kematian dan kemenangan peperangan. Suaranya telah hilang bersama tubuh gempalnya yang kaku-membiru di sebuah penjara.

Tapi, bersamaan dengan itu, ada yang lahir; bergerak dari palung-pikir yang hendak di sekap, yakni kesadaran untuk melakukan refleksi. Sebab, segala sesuatu tak selalu berlangsung sebagaimana seharusnya. Sebab, selalu ada yang terasa tak lengkap. Maka, sebelum kematiannya yang tak pernah ditangisi siapapun itu, Socrates berkata: “Hidup yang tak dapat direfleksikan, tak layak dijalani”.
Di belahan bumi yang lain, dalam masa yang lain, Para Nabi dan orang-orang Suci, telah sedemikian berjerih payah mengajarkan segala cara agar manusia mampu merefleksikan hidupnya, mencicipi cucuran hikmah; agar spiritualitasnya tetap terjaga dan karena itu ia merasakan kebermaknaan atas hidup yang dijalaninya.

Spiritualitas semacam itulah yang semestinya juga diperankan setiap seniman melalui keseniannya. Sehingga, melalui seni, keindahan (kebajikan) masih bisa diresonansikan dalam abad yang prestasi utamanya adalah pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan ini. Sebuah abad di mana pasar bahkan telah di bangun melebihi kecepatan reproduksi.

“Kini semuanya telah menjelma menjadi forum (pasar)”, bisik Zarathustra dalam kesunyiannya. Ia pun bertualang mencari siapa saja yang masih berkenan menggunakan nalar dan hati. Sesiapa saja yang bersendiri dan ditinggalkan, tetapi terjaga dan mawas terhadap apapun yang absen dari keramaian dan keriuhan.

Disini, saya hendak mengatakan, seni adalah sesuatu yang masih pantas kita jaga setidaknya sebagai ruang dimana hidup masih dapat kita refleksikan. Sebuah ruang, di mana nalar dan hati seharusnya mendapat tempat dan mahkotanya sendiri.

Saya percaya, di sepanjang sejarah, dalam setiap generasi, di setiap tempat, Spirit sang Nabi, orang-orang Suci, akan menemukan wujudnya sendiri. Juga di Indramayu ; yang makin boyak karena nalar dan hati kian “bolos” dari kebijakan pembangunan, rapat para anggota Dewan, perilaku sosial, apatah lagi remeh-temeh pertarungan politik.

V

…bakti itu adalah semua tindakan yang menimbulkan ketenangan dalam hati dan jiwa… Demikian kata kanjeng Nabi. Dan sesungguhnya, cuma sebaris kalimat inilah yang paling berharga dalam tulisan saya ini. Itulah hakikat spiritualitas yang hendak saya sampaikan; sebuah bakti. Setelah ratusan kata bergelimpangan di eja dan di tata, tak sedikit pun mampu untuk sekadar menghampiri keluasan dan kedalaman makna dua belas kata dari Sang Terpercaya ini.

Bisakah kesenian kita beranjak sedikit demi sedikit hingga mencapai kualitas bakti? Ia disebut “bakti” karena dilakukan untuk dipersembahkan kepada sesuatu yang lebih besar dan tinggi dari dirinya dan tindakan itu sendiri. Sanggupkah sebentar saja kita bertahan dari rasa lapar dan kepayahan tanpa keluh kesah dan dengan tetap menghormati diri kita sendiri hingga ‘Sang Tangan Kehidupan’ berkenan meraih dan mengangkat kita di mana setetes kesejatian ilmu dan hikmah mengaliri darah memperbaiki setiap bopeng kemanusiaan kita? Mampukah kita perlahan-lahan sedikit beringsut dari posisi kita sebagai pesakitan menjadi pencinta yang merubah batu jadi peluru, pasir jadi permata, serbet jadi busana, ranting jadi senjata, kalibut menjadi tata, bunyi menjadi gema, luka jadi karya dan mempersembahkannya sebagai bakti kepada peradaban ini, kepada kehidupan, kepada sesama manusia, kepada Tuhan?

Cag!

Indramayu, 09 Januari 2008
Selengkapnya...