Rabu, 10 November 2010

Di Lembaran Daun Kamboja

Kuburan. Apakah yang menarik dari sebuah tempat bernama kuburan, selain guguran daun kamboja, bentangan makam-makam, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam? Siapa pula yang mau menyambangi tempat beraroma angker itu, kecuali pada saat-saat tertentu seperti hari raya atau penguburan jenazah?
Tapi beberapa bulan belakangan sering kulihat sosok lekaki di sana. Memandangi sebuah nisan berlumut di pojok kiri areal pemakaman. Seingatku, itu makam seorang wanita. Aku ikut membantu menggali kuburnya dua tahun lalu.Entah apa hubungan lelaki itu dan nama yang tertulis pada nisan itu.
Lelaki itu masih muda. Kurasa umurnya di atas dua puluh tahun. Tubuhnya kurus jangkung. Kalau berjalan agak membungkuk. Rambut ikal dan jambang memenuhi wajahnya. Kehadirannya tak bisa diterka. Kadang ia ke kuburan seminggu sekali, dua minggu sekali, malah pernah dua hari berturut-turut kupergoki dia sedang ziarah. Mungkin orang lain tak akan percaya jika kuceritakan hal ini. Tapi begitulah kenyataannya. Kebiasaan unik lelaki itu membuatku cepat hafal wajah dan gerak-geriknya. Anak istriku pun tak curiga lagi jika melihatnya di kejauhan, berjingkat melewati nisan demi nisan, sebelum tiba di makam.
Pernah suatu pagi, ketika membuka pintu belakang untuk menaburi jagung di kandang ayam, aku kaget melihat dia sudah di sana. Matahari belum utuh menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti tak kenal waktu. Ketika orang-orang berangkat kerja, ke pasar, atau sekolah, dia malah ke kuburan. Kuamati gerak-geriknya dari balik seng lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering yang berserak di atas makam dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekelilingnya. Setelah bersih, ia duduk bersimpuh. Hening. Tak lama kemudian, terdengar lantunan ayat suci menggeletarkan udara pagi.
Terakhir kali aku melihatnya minggu lalu. Cuaca ramah waktu itu. Angin berhembus sepoi. Sinar matahari senja menyibak rindang pohon kamboja. Jatuh di tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut batu nisan. Dari jendela kamar, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu.
* * *
Aku lahir dan besar di rumah ini. Dindingnya satu meter terbuat dari bata selebihnya adalah anyaman bambu yang sudah berdebu. Lantai semen. Atap seng karatan. Kalau hujan, kami sibuk menadahi tetesan air dari lubang atap dengan ember atau baskom. Antara ruang tamu dan ruang makan disekat sebuah lemari tua. Di sebelah kanan, dua kamar tidur sempit pengap. Dapur dan kamar mandi teronggok di belakang, dikelilingi seng-seng bekas.
Ada cermin oval yang menyatu dengan lemari baju di kamar depan. Aku jarang menggunakannya. Bukan karena malu melihat uban tumbuh bagai cendawan di musim hujan, mata cekung, atau gurat-gurat usia di dahi. Jika menatap wajahku dalam cermin, aku seperti melihat kegetiran-kegetiran yang menahun. Setengah abad lebih kujalani hidup dengan berkelahi melawan takdir sebagai orang melarat.
Orang-orang mengenalku sebagai kuncen kuburan. Kadang aku bingung, kenapa kuburan seluas itu dilimpahkan padaku untuk mengurusnya? Apa karena rumahku dekat kuburan? Atau tugas itu diwariskan turun-temurun setelah bapak meninggal?
Aku kerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Tukang loak, penggali sumur, kuli bangunan, dan kerja kasar lainnya silih berganti kulakoni. Asal asap dapur tetap mengepul, aku sudah bersyukur. Istriku berjualan pecel di depan rumah. Hasilnya pas-pasan. Untuk biaya sekolah empat anak kami, harus putar otak lebih keras lagi.
Rezeki macam itu datang jika ada orang meninggal. Ada yang tergopoh-gopoh mencariku, minta digalikan liang lahat selekas mungkin. Walau sedih mendengar kabar duka itu, tapi jujur saja, hatiku girang. Terbayang upah gali makam yang bisa ratusan ribu. Tentu saja tak setiap hari ada yang meninggal. Hari-hari berikutnya, aku blingsatan lagi. Kehabisan uang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Mau pinjam tetangga, jelas malu. Hutang masih menumpuk. Saat-saat terpojok itulah, pernah tercetus doaku, "Semoga ada yang mati, agar aku bisa dapat uang." Entahlah, rasanya doa itu keterlaluan. Aku seperti mengail rezeki di tengah air mata orang-orang.
Kalau otakku buntu, tak ada jalan keluar, aku pergi ke kuburan. Duduk terpekur di salah satu nisan atau di bawah pohon kamboja. Rasanya tenang dan damai. Hembus angin mengalirkan kenangan. Semasa kecil dulu, mendiang orang tuaku sering melarang main di kuburan sore-sore. Aku dijejali cerita-cerita seram tentang hantu, kuntilanak, pocong, wewe gombel, dan sebagainya. Tapi, syukurlah, seumur hidupku belum pernah bertemu mahluk-mahluk itu.
Menjelang bulan puasa dan ketika hari raya Lebaran tiba, peziarah berdatangan untuk nyekar. Mobil-mobil licin mengkilap berderet di depan gerbang kuburan. Kata bapak, banyak juga yang datang dari luar kota. Saat itu aku diizinkan bekerja membersihkan makam-makam yang kotor. Aku mengantongi uang banyak waktu itu.
Roda hidup terus berputar. Semua yang kualami dulu kini terulang kembali. Keempat anakku sering kumarahi agar jangan main layangan atau petak umpet di kuburan. Menjelang bulan puasa dan saat Lebaran, kulepas mereka untuk cari uang jajan sendiri. Selebihnya, kuburan ini kembali diselimuti sepi. Ngelangut dan lirih.
* * *
Jamaah bubar dan berpencar usai salat Jumat. Aku kaget melihat sosok anak muda itu di tempat penitipan sandal. Ia sedang antre di kerumunan. Mungkin dalam masjid tadi dia duduk di deretan belakang hingga aku tak melihatnya. Penasaranku kambuh. Kutunggu dia keluar masjid. Apakah siang ini dia mau ziarah? Jarak masjid dan kuburan tak seberapa jauh, bisa dikerjakannya sekali jalan.
Dia melintas di depanku. Timbul niat untuk mengetahui ke mana ia akan pergi. Aku berjalan di belakangnya. Langkahnya ringan, sambil sesekali menabuhi daun-daun. Sementara dalam perutku ada genderang ditabuh. Kuayun langkah lebih cepat, hingga bersisian dengannya. Dia menengok dan tersenyum ramah. Aha, kupikir ini awal yang bagus.
Mau ziarah, Dik?!" tanyaku datar dan santun. Roman wajahnya berubah.
"Eeh, iya. Kok, Bapak tahu?" Kujelaskan bahwa rumahku persis di sebelah kanan kuburan. Aku tahu jika ada yang ziarah. Dia mengangguk-angguk, tak menyangka selama ini ada yang memperhatikannya.
Tanpa kuminta, dia mulai bercerita. Namanya Hasan. Ia tinggal di kampung seberang. Makam itu adalah makam ibunya yang meninggal dua tahun lalu. Di sisa-sisa napasnya, beliau minta dikuburkan dekat orang tuanya, kakek dan nenek Hasan. Lunas sudah pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benakku selama ini.
"Kita lewat sini saja, Dik." Aku menunjuk sebuah gang. "Ini jalan pintas menuju rumah masa depan," candaku. "Rumah Bapak di ujung gang ini. Lain kali, lewat sini saja untuk menghemat waktu." Tanpa banyak tanya, Hasan mengikuti langkahku.
Kami menyusuri gang sempit berkelok-kelok. Kuajak Hasan singgah sesampainya di gubukku. Lapar sudah di puncaknya, tapi dia menolak waktu kutawari makan bersama. Setelah istriku ikut membujuk, akhirnya Hasan luluh juga.
Usai makan siang, kami istirahat di depan gubuk. Kuburan di sebelah kanan kelihatan jelas dari tempat kami duduk. Hanya dibatasi sepetak tanah. Kami sempat ngobrol ngalor ngidul, sebelum Hasan mengisahkan latar belakang dirinya.
"Saya sangat berdosa pada ibu." Pandangannya menitik hampa ke tanah. Ada induk ayam dan tiga ekor anaknya yang menciap-ciap minta makan. "Semasa hidupnya, saya banyak menyakiti hati ibu. Mabuk, bikin onar di kampung, pinjam uang ke sana-kemari dengan alasan dibuat-buat, hutang rokok numpuk di warung." Kulihat Hasan membuang napas gelisah, kemudian menyambung ceritanya, "Akhirnya orang-orang datang ke rumah, menagih langsung pada ibu. Beliau banyak menanggung malu. Sudah sering saya dinasehati, bahkan pernah dicaci maki, tapi dasar saya anak tak tahu diri."
Aku bengong. Entah harus percaya atau tidak pada ceritanya. Perkenalan kami baru seumur jagung, tapi dia enteng saja menabur keluh kesah. Sempat terbersit curiga. Zaman sekarang banyak penipu yang mengincar mangsanya tanpa pandang bulu. Aku harus waspada.
Hasan terus saja berceloteh. Tentang liontin berlian ibunya yang dicuri lalu dijual murah, padahal benda itu warisan mendiang kakeknya. Dia juga merasa sebagai biang keladi yang menyebabkan ibunya cepat meninggal. Tentang kebiasaannya ziarah untuk mendoakan ibu sekaligus menebus dosanya. Tentang hidupnya yang kini lontang-lantung. Ia malu pulang ke rumah. Namanya sudah tercemar. Tak ada lagi yang mempercayainya. Orang-orang yang dulu lengket di sisinya saat ia banyak uang, kini hilang entah ke mana. Juga tentang niatnya merantau dan kerja apa saja asal halal.
* * *
Senja ramah. Angin sepoi. Sinar matahari tak begitu menyengat. Aku dan Hasan duduk berhadapan di sisi makam, membaca doa bersama. Lantunan suara kami melayang dibawa angin. Sepasang kupu-kupu kuning terbang rendah. Meliuk-liuk lalu hinggap di batu nisan. Aku tercekat. Kulirik Hasan, namun dia seperti tak menyadari kehadiran sepasang mahluk lemah itu.
Usai berdoa, Hasan pamit. Ia menjabat tanganku seraya mengucapkan terima kasih. Sepintas kulihat matanya memerah. Aku termangu, haru melepasnya. Ia berjingkat melewati nisan demi nisan. Maghrib menjelang ketika Hasan telah lenyap dari pemakaman. Ah, seandainya aku ada uang, tentu sudah kuselipkan di saku bajunya.
Entah ke mana tujuan Hasan. Entah di mana tidurnya malam ini. Entah bagaimana dia makan. Aku merasa bersalah. Seharusnya jangan terlalu cepat mencurigai anak itu. Aku menyesal hanya jadi pendengar yang baik saat dia bercerita, padahal apa susahnya memberi nasehat agar dia jangan terlalu lama menyesali keadaan, agar dia bangkit menebus kesalahan, agar dia rajin mendoakan almarhumah ibunya. Ah, mudah-mudahan kami bisa bertemu lagi, suatu saat nanti, di kuburan ini.
Dua kupu-kupu kuning telah raib dari tempatnya. Angin mendesau lirih. Sekuntum bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara yang kering. Kupandangi bunga putih bersih itu. Tiba-tiba aku terhenyak menatap tulisan di batu nisan. Di bawah nama almarhumah ibu Hasan, terpahat tanggal dan bulan kelahiran yang sama persis dengan kematiannya.


S E L E S A I

Selengkapnya...

Nayna dan Cangkir Kopi

Aku hanya menyisakan gigil di beranda rumah. Kopi di cangkir telah dingin dan laron-laron mati di bawah cahaya neon. Sedari tadi aku menunggu kantuk yang tak datang-datang. Ranting pohon rambutan di hadapanku menjelma ribuan kepompong yang bergelantungan serupa harapan. Tak ada suara kecuali dengung nyamuk dan tetesan ledeng bocor dari rumah tetangga.
Saat-saat seperti inilah aku selalu terkenang padanya. Pada beranda yang kerap menjadi panggung saat memainkan tiap babak tentang Nayna. Tentang mimpi-mimpi dan permainan api. Juga sesekali tentang warna sandalnya yang lucu. Lalu kami tertawa menunggu hujan reda di beranda.Nayna, tahukah kau, saat kulihat di kedalaman matamu. Bunga-bunga sedemikian mekar di halaman, angsa-angsa menari, kupu-kupu meneguk rumpun sari. Kita tak pernah peduli matahari telah terlalu lama pergi.
Masih diberanda ini. Cangkir kopi yang sama saat Nayna menyuguhiku dengan kopi yang kemanisan. Selalu begitu meskipun ia tahu betapa aku tak pernah benar-benar menghabiskannya. Lalu ia mencicipi dan mengacungkan jempol meyakinkan bahwa kopi buatannya begitu nikmat.
“Jangan terlalu banyak kopi, takarannya kukurangi dan gulanya kutambah.” Katanya sambil mengaduk cangkir itu sedemikian lama hingga gulanya benar-benar larut. Ah, Nayna. Hal yang sepelepun membuatku sebegitu haru mengenangmu.
Barangkali segala macam cara telah tuntas kulakukan. Bertumpuk surat cinta telah pula kutuliskan, namun tak pernah benar-benar bisa kusampaikan. Sudah tujuh tahun beranda ini menjadi penjara yang kejam. Tujuh tahun sudah kekangenanku menjadi kutukan. Sakit. Disini, beranda ini kini serupa patung-patung putih yang berusaha mengucapkan diri dan kenangannya tentang seseorang. Seseorang yang pernah duduk di beranda ini dan meninggalkan semacam rasa perih dan kerinduan yang tak bisa berhenti, tak terobati.
Beberapa tahun lalu pernah kudengar Nayna akhirnya menggapai cita-citanya menjadi guru bagi anak-anak terbelakang di pedalaman Kampar Hulu, Kabupaten Indragiri Riau. Tapi bagaimana mungkin aku menyusulnya? Sementara ia sudah beranak dua dan lelaki selingkuhan yang menjadi suaminya itu telah membuatnya bahagia?
Lelaki yang dulu potretnya secara tidak sengaja kulihat di dompetnya. Lelaki yang dulu sempat membuatku menampar Nayna dan menerbangkan seribu sayap kupu-kupu di beranda rumah. Lelaki yang memiliki penghasilan yang baik karena bekerja sebagai mandor perkebunan sawit. Lelaki yang berhasil membuat Nayna melawan rezim keluarga dengan minggat kawin lari seusai wisuda.
Namun sungguh, aku mengenal Nayna sangat dalam. Ia memilih jalan hidup sendiri seperti impiannya tempo hari di beranda ini. Menjadi guru, mengajari anak-anak membaca buku, mengajaknya mengenal angka, dan sesekali berlatih menari. Tapi Nayna tak mau melakukannya di kota ini. Katanya, di kota ini guru-guru sudah sulit sekali dikenali. Guru-guru disini hanya berpikir besarnya tunjangan dan kenaikan gaji. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Diam-diam akupun merajut impian baru, di pedalaman. Ya, di pedalaman agar akupun bisa mengikuti kibas sayapnya. Tapi menjadi apakah aku? Penebang hutan? Pengumpul rotan? Ilmuwan? Atau seorang buya yang mengajarkan agama?
Semakin larut. Bunga-bunga rambutan bergoyang diantara dedaunan. Masih dengan dengung nyamuk dan tetesan ledeng bocor dari rumah tetangga. Cangkir kopi di depanku semakin mengarca diantara derit kursi bambu yang kududuki dengan gelisah. Nyala rembulan semakin tampak setelah lindap dibalik awan pekat. Hujan setengah malam adalah perihal biasa di kota Sungai Penuh. Mungkin di kota kecil yang dikelilingi jejeran Bukit Barisan ini hujan turun sepanjang tahun. Aku dan Nayna sepakat bahwa hujanlah yang kerap memperpanjang durasi setiap pertemuan.
* * *
Stasiun Gambir sudah ramai di pagi hari. Aku memesan tiket ke Yogyakarta jam 2 siang. Masih tersisa setengah hari untukku menunggu kereta Senja Utama. Setelah kepergian Nayna aku memang kerap meninggalkan kota Sungai Penuh untuk sekedar melanjutkan hidup jika tidak ingin disebut melarikan diri dari kenyataan apalagi frustasi, lalu terbunuh sepi. Begitu sakit aku kehilangan Nayna, terlebih jika mengenang bahwa aku sempat menghitung berapa jumlah pori-pori pada tubuhnya. Benar kata orang bahwa kulit itu adalah candu.
Aku memesan makanan dan kopi di warung padang sambil membuka-buka koran pagi menghilangkan kebosanan. Beberapa pengamen datang bergantian tanpa sepeserpun yang kuberikan. Aku begitu malas mendengarkan apapun pagi ini. Tidak juga suara wanita sales obat kuat yang berdandan seksi.
Beberapa halaman koran kulumat diantara kepulan asap. Menunggu membuat asbak didepanku begitu cepat penuh dengan puntungan-puntungan. Beberapa tahun terakhir aku memang begitu akrab dengan suasana perjalanan. Aku tidak menyalahkan Nayna yang menyebabkanku tidak tahu kemana harus pulang.
Kereta Senja Utama datang enam jam lagi. Biasanya selepas senja kereta ini akan menurunkan penumpang di Stasiun Tugu Yogyakarta. Lalu aku akan mampir di jalan Pajeksan membeli dua atau tiga liter lapen untuk dibawa pulang dan meminumnya hingga tuntas memakai cangkir putih di beranda. Berusaha menanggalkan kenangan kopi manis buatan Nayna.
Tapi rupanya aku ini memang laki-laki keturunan bengal. Justru mabuk semakin membuatku meracaukan segala perihal tentang Nayna. Tentang Nayna dan seribu sayap kupu-kupu di Taman Nasional Kerinci Seblat nun di belantara Sumatera.
Di depanku melintas-lintas berbagai macam asongan. Mulai dari rokok, makanan, ikat pinggang dari kulit buatan, hingga pernak-pernik murahan. tiba-tiba mataku seperti tertusuk ranting yang runcing. Dadaku berpacu mencari tahu. Di balik keramaian orang-orang aku melihat perempuan berkerudung kuning menyelinap menawarkan dagangannya. Aku berdiri mendekati perempuan itu. Wajahnya kian jelas, namun aku tidak begitu yakin bahwa aku benar-benar mengenalnya. Nayna-kah itu? Hatiku dilanda puting beliung, menghamburkan bertumpuk rasa sakit dan nyeri yang asing. Bagaimana mungkin Nayna ada di Stasiun Gambir dan tiba-tiba menjadi penjual roti?
Wajah perempuan itu semakin kentara dibalik kerudung kuningnya yang lusuh. Tubuhnya yang ramping terlihat kurus dibalut kaos bergaris tipis. Ia menjinjing dua keranjang penuh roti beraneka rasa. Ah, tidak mungkin itu Nayna. Alisnya yang runcing semakin kukenali meski matanya tak lagi bening seperti dulu selalu kutelusuri demikian dalam. Wanita itu belum melihatku, ia masih berusaha meyakinkan kepada setiap orang di depannya bahwa roti yang dijualnya masih hangat dan nikmat.
“Nayna!”
Wanita itu melihat kearahku. Aku yakin sekali bahwa keterkejutannya tidak kalah dengan yang kurasakan. Namun sungguh, ia tampak begitu tenang. Ia mendekatiku.
“Rotinya, Mas? Ada roti sirup, coklat, pisang… dan ini rasa kopi. Silahkan mau yang mana. Lumayan buat sarapan atau bekal di jalan. Nanti kalau di kereta mahal lho.”
“Nayna?”
“Harganya murah lho, Mas. Cuma dua ribu lima ratus kok.”
* * *
Musholla Baiturrahmah di pojok benteng kidul alun-alun Yogyakarta selepas sholat isya masih terdapat beberapa jama’ah istiqomah yang belum beranjak pulang. Mereka sengaja aku undang untuk menjadi saksi pernikahanku dengan Nayna. Hanya ada beberapa piring penganan dan minuman gelas yang kusuguhkan. Aku dan Nayna telah menikah siri malam ini dan Ustdaz Ramlan yang biasa mengimami sholat yang menjadi penghulunya. Cara ini terpaksa kami tempuh meski aku tahu betul bahwa Majelis Ulama telah memfatwakan haram.
Malam ini aku resmi menjadi suami Nayna. Tak satupun keluarga kami yang tahu perihal pernikahan ini. Kami masih terlalu pengecut untuk memberitakannya kepada keluarga di kampung. Biarlah kami menikmati masa-masa indah ini dengan cara kami sendiri. Waktu-waktu yang begitu aku nantikan setelah tujuh tahun kesakitan. Aku telah memiliki Nayna seutuhnya. Juga Lukman dan Syahril yang kini telah kuanggap sebagai anakku sendiri meski mereka masih belum terbiasa memanggilku Bapak.
Kami tinggal di rumah kontrakan tidak jauh dari musholla itu. Nayna tidak lagi menjadi penjual roti di Stasiun Gambir seperti yang kutemui dua minggu yang lalu ketika transit perjalanan dari kota Sungai penuh menuju Yogyakarta. Sebuah perjalanan yang tidak seperti biasanya. Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu Nayna di tempat yang tidak pernah aku duga. Aku juga tidak pernah membayangkan nasib Nayna menjadi sedemikian rupa. Aku sungguh-sungguh tidak peduli dengan statusnya sebagai janda beranak dua yang terlunta-lunta di Jakarta dan bukan lagi seorang guru bagi anak-anak buruh sawit di Sumatera.
Nayna di Jakarta hendak mencari kerja karena suasana pelosok Kampar sudah tidak lagi memberi kenyamanan baginya. Suaminya meninggal beberapa bulan lalu tanpa ada tetangga yang mau menguburkannya. Tidak juga seorangpun yang datang melayat atau memberi ucapan belasungkawa. Kematian yang benar-benar mereka anggap hina. Ia memilih Jakarta karena berusaha mengubur rasa trauma dan sakit hati dengan rimba ibukota. Entahlah, Nayna memang selalu begitu, selalu menganggap dunia begitu mudah ditaklukkan.
Di ibukota ia terpaksa berjualan roti keliling karena Jakarta menolak mentah-mentah ijazah PGSDnya. Ia tidak punya muka jika harus kembali ke kota Sungai Penuh dan meminta maaf kepada orang tua. Juga tidak berniat kembali ke Kampar dengan menyimpan alasan yang enggan ia ceritakan. Aku tidak bertanya, tapi aku yakin suatu saat ia pasti akan menjelaskan semuanya. Lagipula masih banyak waktuku bersama Nayna setiap harinya untuk menumpahkan segala Tanya.
* * *
Empat tahun berlalu sejak pernikahanku dengan Nayna. Nayna menjadi ibu rumah tangga yang baik yang menyeduhkan kopi untukku setiap harinya. Tidak lagi dengan cangkir putih seperti dulu, namun masih dengan rasa yang sama, sedikit kopi dengan banyak gula. Lukman dan Syahril sudah bersekolah dan sudah memanggilku dengan sebutan Bapak. Anak kami yang ketiga perempuan bernama Suci baru pandai berjalan.
Nayna masih terlihat cantik meski tubuhnya semakin kurus. Begitupun aku dan anak-anak kami. Padahal aku selalu memberikan uang untuk membelikan makanan yang memenuhi standar gizi. Namun masih saja kami sekeluarga mengalami penurunan berat badan yang tak bisa berhenti. Sesekali diantara kami bergiliran merasakan mual, muntah-muntah, dan terkadang hingga tiba-tiba menjadi gampang lupa. Rambut Nayna semakin banyak yang rontok, menjelang subuh nafasnya kerap tersengal-sengal dengan batuk yang berat. Pagi hari aku ke apotek membeli obat TBC, lalu batuk itu reda untuk beberapa hari kemudian kumat lagi.
Suatu malam Nayna mengeluh jika pangkal pahanya nyeri dan gatal-gatal, mungkin berjamur. Ia mengolesinya dengan salep herpes sisaan obat Lukman untuk sekedar menghilangkan gatal. Tapi ternyata hal itu terus berlanjut hampir tiap malam menjelang kami tidur. Nayna selalu mengeluh dengan gangguan di pangkal pahanya. Keesokan harinya aku mengajaknya ke Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, khawatir jika penyakit itu tidak kunjung sembuh meski telah di beri salep herpes dari apotik.
“Positif.”
Aku benar-benar gila mendengar penjelasan dokter. Nayna positif mengidap AIDS. Dan itu artinya aku, Lukman, Syahril, dan Suci juga positif tertular AIDS. Aku tidak lagi mendengarkan penjelasan-penjelasan dokter berikutnya. Yang kubayangkan adalah kengerian seperti yang pernah kubaca dan kusaksikan di televisi tentang kehidupan seorang penyandang penyakit yang paling menakutkan. Penyakit yang telah merenggut begitu banyak masa depan sekaligus harapan. Penyakit yang selalu dianggap begitu menjijikkan. Mungkin ia ditulari oleh suaminya yang dulu. Barangkali inilah penyebab Nayna enggan pulang ke Kampar Hulu karena para tetangga sudah tidak mau bergaul dengan dirinya. Juga salah satu alasan kenapa ia begitu malu bertemu dengan orang tua.
Di ruang periksa, sayup-sayup aku mendengar suara ranting patah dan cangkir kopi yang pecah.

SELESAI

Selengkapnya...

Rabu, 16 September 2009

Januari Untuk Sarna

Oleh : Boedi Poernomo


“Kutunggu di Indramayu”
Hanya itu yang tertulis di menu kotak masuk handphoneku. Tak ada alamat dan nama pengirim. Hanya nomor ponsel dengan kode wilayah yang tak pernah kukenal. Kubuka-buka kembali memori telpon genggamku, namun tak satupun yang sesuai dengan nomor pengirim pesan singkat di ponselku. Sekali lagi kuacak-acak menu ponselku, berharap aku lupa atau terlewat untuk membuka nomor telepon yang tadi pagi mengirimiku sms sederhana namun mampu mengundang tanya yang dalam di diriku. Jika pengirim sms itu berasal dari Indramayu kiranya aku kenal dengan nomor kode wilayah itu dan bisa kupastikan bahwa pengirim sms itu barangkali adalah kawan lama atau orang-orang yang dulu pernah mengenalku begitu baik.
Pertanyaan-pertanyaan bagai gelombang pasang terus membanjiri otakku. Ada apa di Indramayu? Bagaimana pengirim sms misterius itu tahu bahwa saat ini aku sedang tidak berada di kota mangga itu? Lalu bagaimana ia bisa mengetahui nomor ponselku? Seingatku, sejak aku meninggalkan kota kelahiranku itu aku telah berganti nomor ponsel yang hanya kuberikan kepada orang-orang tertentu yang menurutku akan perlu untuk berkomunikasi. Aku mencoba mencari tahu siapa pengirim sms itu lewat teman-teman yang pernah bersama-sama mewarnai langit Indramayu. Tapi tak satupun diantara mereka yang mengenal nomor pengirim sms misterius itu bahkan merekapun ikut mengerutkan kening ketika kutanyakan mengenai kode wilayah nomor ponsel itu. Aku mencoba untuk mengira-ngira barangkali aku punya kenalan, saudara, atau teman di luar kota namun tetap saja hal itu belum mampu menjawab rasa penasaranku.
Kuputuskan untuk menghubungi nomor ponsel itu, namun hanya suara customer service terdengar menginformasikan bahwa nomor itu tak bisa dihubungi. Berkali-kali kucoba hasilnya tetap sama. Sambil berusaha mengubur kepenasaranku, beberapa hari kuabaikan saja persoalan short message service yang tanpa disangka berhasil menguras pikiranku disamping tugas kuliah yang mestinya bisa kuselesaikan sebelum masa tenggang yang diberikan oleh dosen masih berlaku. Namun nyatanya pesan misterius itu memiliki magnet jauh lebih kuat untuk menyedot pikiran, tenaga, dan waktuku ketimbang berkutat dengan diktat atau buku-buku perkuliahan yang tebalnya hampir sama dengan kitab undang-undang negeri ini.
Ku baca berulang-ulang kalimat singkat dan sederhana itu di kotak surat Nokia 6630-ku. Masih saja belum menjawab rasa penasaranku. Akhirnya setelah beberapa hari aku yakin bahwa sms tersebut salah kirim, meski cukup mengejutkan karena selama hampir empat tahun aku kuliah di Yogyakarta ini sangatlah jarang aku menerima kabar berita –atau sekedar basa-basi- selain dari keluarga di Indramayu.

* * *
“Kutunggu di Indramayu”
Huuhh! Kali ini benar-benar gila. Sebuah kartu pos dengan stempel pos kota Denpasar tidak mungkin sengaja nyasar ke alamat kost-anku. Persis seperti isi sms misterius tempo hari, isi kartu pos ini pun tidak berbeda. Hanya berisi pesan singkat tanpa maksud dan tujuan. Rasanya belum terlalu lama aku diteror oleh sms gelap, saat ini keherananku semakin bertambah dengan datangnya kartu pos tanpa alamat jelas dan nama pengirim. Dari stempel posnya jelas itu dari Denpasar, tapi seingatku aku tak mengenal seorangpun di pulau dewata itu.
Hebat. Ternyata pengirim pesan itu tidak hanya menggunakan teknologi canggih seperti handphone saja untuk menghubungiku, tapi ia juga menggunakan kartu pos sebagai alat komunikasi model lama namun masih menyisakan kesan melankolis. Kartu pos itu bergambar sebuah lukisan abstrak tanpa tanda tangan pelukisnya namun aku yakin bahwa lukisan di kartu pos itu tidak kalah jika dibandingkan dengan berbagai macam pilihan wallpaper di handphone, komputer, atau segala jenis produk modernisasi lainnya.
Jika persoalan sms bisa saja barangkali orang iseng atau salah kirim, tapi tidak mungkin selembar kartu pos ini begitu saja nyasar salah kirim ke alamatku. Barangkali pengirim sms misterius itu jugalah yang mengirimkan kartu pos ini. Kutimang-timang kartu pos itu, seolah-olah ia berharap agar aku segera mengabulkan permintaannya seperti yang tertulis jelas dalam kolom pesan itu. Aku mencoba untuk menyambungkan pikiranku antara masa lalu di Indramayu, dan apa hubungannya dengan kota Denpasar, serta pesan singkat yang kuterima lewat sms dan kartu pos bergambar lukisan abstrak itu. Yang bisa kusimpulkan hanyalah kota asal kartu pos itu dikirimkan dan bisa jadi nomor pengirim sms itu pun berasal dari kota Denpasar.
Seingatku, dulu aku hanya punya seorang teman bernama Sarna yang suka sekali dengan lukisan seperti yang tertera di kartu pos itu. Ia adalah teman sekelas yang pendiam namun disukai oleh banyak orang karena pandai melukis, ia juga begitu lihai memetik gitar dan mengolah kata menjadi untaian puisi yang kerap menjadi pemenang berbagai lomba. Sering kali sepulang sekolah, ia mengiringi langkahku di sepanjang jalan menuju ke rumah. Keakraban itu dikemudian hari berkembang pula menjadi getar-getar asmara, meski tak pernah terucap namun cukup terungkap lewat tatapan matanya yang dalam atau sekedar usapan jemarinya di poniku yang terkadang sering menutupi alis.
Tiga tahun kedekatan itu terukir begitu manisnya. Kedekatan itu berakhir seusai Ujian Akhir Nasional. Siang itu langit kota mangga mendung seusai diguyur hujan semalaman. Begitu juga disepanjang jalan M.T. Haryono, becek oleh sisa hujan. Kami menyusuri jalan itu barangkali untuk yang terakhir kalinya.
“Setelah ini kamu jadi melanjutkan kuliah ke Yogya?” deg! Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutnya yang tak banyak bicara.
“Jadi.” Jawabku singkat sambil menatap dalam kematanya. Aku melihat kesedihan disana, namun ia tampak tegar. Ia mengalihkan pandangannya ke langit yang menghitam tapi tidak berusaha untuk berkata apapun, hanya sesekali melompat menghindari genangan air di sepanjang jalan
“kamu sendiri setelah ini mau kuliah dimana?” tanyaku untuk sekedar meredam gejolak tak biasa ini. Padahal sebelumnya ia pernah bilang kalau ia tidak akan melanjutkan kuliah karena terbentur biaya. Ia ingin membantu perekonomian keluarganya karena ayahnya cuma seorang buruh bangunan dan ibunya memilih untuk berjualan kue keliling sementara tiga adiknya masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Ia mengambil sehelai rumput ilalang di pinggir jalan itu lalu memberikannya padaku.
“Jika nanti kamu tidak bisa menemuiku, maka percayalah bahwa saat itu aku tengah mempersiapkan pertemuan yang lebih baik dari pertemuan kita kali ini. Aku akan tetap tumbuh dimanapun aku berada seperti rumput ini yang bisa tumbuh dimana saja.”
Kalimat panjang itu seperti penutup pertemuan kami siang itu. Setelah itu aku benar-benar kehilangan dirinya. Tak ada berita apapun mengenai keberadaannya. Tak ada alamat atau nomor telepon yang bisa kuhubungi. Bahkan rumahnya di Indramayu-pun sudah dijual dan para tetangga tak satupun yang tahu perihal kepindahan keluarga itu. Hingga aku kuliah di kota gudeg-pun aku masih berharap untuk mendapatkan informasi tentangnya. Sesekali aku mendatangi pameran atau gallery seni rupa hanya sekedar untuk bernostalgia karena aku tahu Sarna sangat menyukai dunia itu.

* * *
“Kutunggu di Indramayu.”
Akhirnya kukemasi juga barang-barang keperluanku. Aku berangkat malam ini menggunakan kereta. Perjalanan antara Stasiun Lempuyangan hingga Stasiun Jatibarang cukup menguras tenaga, apalagi kereta yang kutumpangi adalah kereta kelas ekonomi. Tapi syukurlah aku bisa duduk di deretan paling sudut dari gerbong tua kereta ini. Tujuanku pulang ke Indramayu kali ini tidaklah sama dengan kepulangan-kepulanganku sebelumnya. Aku pulang ke Indramayu khusus untuk mengabulkan permintaan seseorang yang mengirimiku pesan lewat ponsel dan kartu pos. Hanya itu, meski hingga saat ini aku masih belum tahu siapa dan bagaimana cara mencari tahunya. Kuputuskan untuk ke Indramayu, setidaknya menuntaskan kerinduan pada keluarga dan syukur-syukur bertemu atau mendapatkan informasi mengenai Sarna.
Pertengahan januari Indramayu tampak lengang. Hanya sesekali saja pengendara motor bermantel melewati kota yang di belah sungai Cimanuk ini. Musim penghujan tahun ini rupanya membuat orang-orang kerasan untuk tinggal di rumah, menghirup segelas teh hangat atau barangkali memilih berlindung di bawah selimut. Begitu juga dengan aku, virus influenza ternyata menyambut kedatanganku dengan mesranya. Akibatnya, aku bersin-bersin dengan ingus mbleberan kemana-mana. Satu penyakit yang paling menjengkelkan di seluruh dunia. Musim penghujan awal tahun ini juga membuat pakaian-pakaian tak pernah kering.
Kubuka lagi menu kotak pesan di ponsel subsidi orang tuaku. Pesan singkat itu masih tersimpan begitu rapi. Kucoba lagi menghubungi nomor itu berkali-kali, tapi tetap saja tak bisa dihubungi. Setengah putus asa, kuamati kartu pos yang sengaja kubawa sebagai referensi atas misiku kembali ke kota ini. Namun tetap saja benda itu tak memberi informasi apa-apa selain gambar lukisan yang aneh namun pasti memiliki estetika yang tinggi.
Tiba-tiba aku ingat dengan coretan-coretan vignette yang masih betah menempel di dinding kamarku. Vignette-vignette itu kupajang sejak aku masih berseragam putih abu-abu. Goresan tinta hitam itu mengundang kenangan lamaku tentang masa-masa sekolah dulu. Vignette itu sering kuterima sepulang sekolah dari Sarna. Aku sering meliriknya menghitami kertas putih itu pada saat jam istirahat karena tak mampu mengisi waktunya di kantin bersama teman-teman yang lain. Terkadang tidak hanya vignette, tapi juga puisi dan sketsa-sketsa sederhana. Suatu ketika ia pernah mengutarakan obsesinya untuk mengharumkan nama Indramayu lewat karya-karyanya.
“Aku ingin menjadi seorang Seniman.” Ikrarnya begitu yakin dengan pilihan hidupnya. Aneh! Disaat aku dan anak-anak lain memilih untuk menjadi dokter, pengacara, pilot, pengusaha, atau arsitek, Sarna malah memilih untuk menjadi seorang Seniman yang sering sekali dipandang sebagai profesi yang tidak memiliki kekuatan ekonomi dan buang-buang waktu. Tapi diam-diam aku yakin dengan pilihannya karena menurutku ia memiliki kemampuan untuk itu.

* * *
“Kutunggu di Indramayu.”
Tok…tok…tok… tiba-tiba terdengar pintu kamarku diketuk dari luar, sesaat kemudian Dayna, tetangga sekaligus sahabatku semasa sma itu sudah ikut merebahkan tubuhnya disisiku. Kami sepakat untuk bernostalgia dengan kota ini walau cuma sekedar menyantap tahu gejrot di alun-alun. Ketika kuceritakan mengenai pesan sms dan kartu pos itu ia hanya menatapku begitu dalam namun bibirnya tak bergerak sedikitpun. Begitu juga ketika kutanyakan perihal keberadaan Sarna, ia hanya menggeleng lalu mengalihkan pembicaraan ke hal yang lain. Ia tampak berusaha menghibur dan menyemangatiku. Ah, Sarna, sekarang kamu ada dimana? Tidakkah kamu merasakan kerinduan ini begitu menyesakkan?
Ini hari ke-limaku di kota kelahiranku, namun hingga detik ini belum ada perkembangan yang signifikan perihal pesan singkat itu. Ah, barangkali aku hanya mengada-ada saja. Tak ada yang benar-benar menungguku di Indramayu. Kami menyusuri hampir setiap sudut kota ini, yang kudapati hanyalah semakin maraknya spanduk dan baligho berbagai macam produk dan kepentingan ikut meramaikan kota. Yang sedikit berarti adalah semakin menjamurnya warung-warung internet sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Warung-warung pulsa-pun seolah-olah berdesak-desakan, berjubel, memenuhi hampir di setiap tikungan jalan. Wah, bisa dibayangkan berapa rupiah yang bisa dikeluarkan masyarakat Indramayu setiap hari hanya sekedar untuk membeli pulsa saja. Rupanya alat komunikasi itu telah mampu menjadi kebutuhan pokok manusia selain sandang pangan.
Dayna mengajakku untuk melintasi jalan R.A. Kartini. Mataku seolah-olah dipaksa untuk tidak berkedip begitu melewati gedung Panti Budaya di sudut perempatan jalan itu. Dulu Sarna sering mengajakku untuk mengunjungi tempat ini tapi aku sering menolaknya dengan alasan orang-orangnya menyeramkan. Gondrong-gondrong, kucel-kucel dan terkadang sering bersikap aneh-aneh namun dimata masyarakat mereka kerap dianggap seniman. Saat ini, seandainya Sarna mengajakku ke tempat ini pasti tak akan kutolak. Sarna, aku tahu dimanapun kau tumbuh saat ini pasti tengah mempersiapkan pertemuan yang terbaik untuk kita. Sungguh, diam-diam aku berharap pengirim pesan singkat itu adalah Sarna.

* * *
“Kutunggu di Indramayu.”
“Nia, ikut ke Panti Budaya yuk…?” suara Dayna terdengar antusias pagi ini di handphoneku. Aku terhenyak seraya mengusap-usap mataku karna kantukku belum juga hilang hingga pagi ini. Semalam aku tidur terlalu larut karena pikiranku belum bisa terlepas dari persoalan pesan singkat itu.
“Ada apa di Panti Budaya?” tanyaku malas.
“Ayolah Nia, sebentar saja. Aku punya undangannya. Kemarin aku lihat sorot matamu begitu rindu dengan tempat itu. Kapan lagi? Mumpung kamu masih di sini.” Dayna berusaha membujukku. Entahlah, keputus asaan seolah-olah datang tanpa di undang. Tapi biarlah, barangkali aku bisa mendapatkan informasi mengenai pengirim pesan misterius itu. Atau barangkali jika aku beruntung, aku akan bertemu dengan Sarna.
“Baik. Jam berapa?” Tanyaku menyanggupi ajakan Dayna.
“Jam sepuluh pagi ini. Aku tunggu disana.” Dayna langsung menutup teleponnya tanpa menunggu pertanyaanku berikutnya. Sejenak aku terdiam, membayangkan gedung tua itu. Ingin sekali aku menjerit, berharap waktu dapat terulang ketika Sarna dulu berkali-kali memintaku menemaninya kesana.
Segera kupacu motorku menuju Panti Budaya. Perjalanan ke gedung itu melewati jalan MT. Haryono. Kembali harap dan kecemasan menggerogoti pikiranku. Sekolah kami dulu belum mengalami banyak perubahan kecuali semakin rindangnya pepohonan yang memagari halaman sekolah. Di sepanjang jalan itu kenangan tentang Sarna melintas-lintas di benakku.
Gerimis tipis mulai turun. Gedung Panti Budaya sudah mulai ramai oleh pengunjung. Tapi aku belum melihat sosok Dayna disana. Hanya wajah-wajah asing di sekelilingku. Mereka tampak sibuk. Rupanya sedang diadakan persiapan pembukaan Pameran Tunggal Seni Rupa karya seniman muda ternama. Pameran ini terlihat megah dan mewah dengan sponsor utama produk cellular terbesar di Indonesa. Beberapa pejabat teras baik dari daerah maupun pusat sudah menempati kursi yang disediakan panitia. Tapi hingga detik ini Dayna masih belum kelihatan. Jika kuhubungkan dengan isi pesan misterius itu, mestinya ada seseorang yang tengah menunggu kehadiranku di Indramayu. Tapi yang kuhadapi saat ini malah peristiwa menunggu. Kucoba untuk menelpon dan mengiriminya sms, namun tak ada satu balasanpun yang kuterima. Aku mulai panik dalam kondisi yang akut, tapi tetap berusaha bertahan di tempat yang begitu asing ini.
” ‘Ain…” tiba-tiba sebuah suara yang sangat kukenal menyapaku dari belakang. Hanya saja suara itu terdengar lebih berat dan bersahaja. Jantungku berdetak kencang. Aliran darahku seperti pengendara jalan tol yang melaju dengan kecepatan setan. Cuma ada seseorang yang memanggil namaku seperti itu. Ia membalik sebutan Nia menjadi ‘Ain lengkap dengan cengkok arabnnya. Bertahun-tahun sebutan itu tak lagi terdengar di telingaku. Panggilan khusus itu kini terucap bagai halilintar di jantungku. Panggilan dari seseorang yang selama ini begitu aku harapkan untuk menjadi pendamping hidupku.
Kuputar tubuhku yang membelakanginya. Kulihat Dayna tersenyum aneh disebelah sosok pemuda yang dulu pernah kukenal. Sosok itu begitu rapi mengenakan jeans biru yang dipadu dengan kemeja putih. Wajah itu begitu bersinar dengan tatapan yang sama seperti empat tahun yang lalu. Sebutir air mata bergulir di ceruk matanya yang dalam. Tanpa terasa pipikupun basah oleh relief yang diukir air mata.
“ ‘Ain…” sekali lagi ia menyebut namaku seperti membangunkanku dari tidur selama empat tahun. Aku tergagap, tak mampu mengendalikan perasaanku. Mulutku terkunci, tak sanggup bersuara sepatah katapun. Tanpa kusadari kini aku telah merelakan tubuhku dalam pelukannya. Sementara pengunjung semakin membanjiri gedung ini. Kuperhatikan lukisan disekelilingku semuanya terdapat tanda tangan Sarna. Mataku tak berkedip melihat sebuah lukisan besar yang terdapat di tegah ruangan pameran itu. Lukisan itu sama persis dengan lukisan yang terdapat di kartu pos yang kuterima sebelumnya.
Kecurigaanku tertuju pada Sarna, apakah Sarna-lah si pengirim pesan misterius itu? Apakah pertemuan seperti ini maksud dari pesan yang dikirimkannya? Lamat-lamat kudengar suara kurator menyebut-nyebut nama Mukadi Sarna sebagai pemuda asli Indramayu yang menempa diri di pulau Bali dan saat ini tengah meraih sukses sebagai seniman muda yang karya-karyanya paling diminati oleh banyak kolektor. Diluar, gerimis turun menyirami taman-taman. Bunga-bunga tampak mekar. Esok masih ada hariku bersama Sarna untuk menumpahkan segala Tanya.


* ) untuk Ucha MS, rumah pertamaku di indramayu.
Sindang, 22 April 2008
Selengkapnya...

Sabtu, 29 Agustus 2009

Menjemput Impian

Oleh : Boedi Poernomo


Debur ombak silih berganti memecah tepian pantai Karang Song. Menggiring buih pada hamparan pasir putih yang terserak. Angin utara menyapa lembayung senja yang merona di kaki langit. Sekumpulan camar berkicau riang melayang di antara buih. Damai.
Rodiah hanya sendirian diantara bongkahan – bongkahan batu yang begitu kekar menangkis ombak. Gadis manis anak abah Carba –nelayan miskin di ujung kampung- itu begitu menikmati detil-detil irama ombak pantai utara. Dentuman-dentuman ombak itu seolah dengung gong yang menggerakkan setiap persendiannya. Gemerisik pasir itu seperti ketukan nayaga yang selaras dengan keluwesannya. Tubuh ramping Rodiah terus bergerak melupakan kepenatannya. Rambutnya berkibar-kibar seperti selendang yang mengikuti alunan nada. Terkadang Rodiah tertawa seperti Raksasa, terkadang berlagak bagai seorang kesatria, sesekali ia berubah menjadi puteri raja. Rodiah terus menari menatap samudra. Rodiah menari menjemput senja. Rodiah menari menggapai asa.
Selalu di setiap senja. Dan ini adalah senja yang ke-sekian ribunya ia jelang dengan sebuah tarian. Terkadang untuk lebih menjiwai setiap tariannya, Rodiah membuat topeng dari kertas yang ia gambar sendiri sesuai karakter dalam setiap tariannya. Topeng Kelana dengan spidol berwarna merah, Samba putih polos, Rumiyang dengan spidol merah jambu, Panji dengan garis-garis tipis, Kemenggung berwarna coklat dengan guratan kumis, sedangkan Kelana Udeng ia buat dari potongan kardus bekas minuman.
Ia tak pernah belajar menari. Tapi senja di batas samudra telah mengajarinya setiap gerakan-gerakan penuh estetika. Warna jingga di tepian cakrawala telah menuntun langkah kakinya penuh irama. Bongkahan karang telah menjadi panggungnya selama ratusan purnama. Umang-umang telah menjelma menjadi pengagumnya paling setia.
Menjadi Penari Topeng. Itulah impian yang selalu ia bisikkan pada angin gersang. Ia berharap angin itu akan menerbangkan impiannya menuju panggung dunia. Menari di tengah lautan manusia. Mengenakan kostum lengkap dengan topeng di wajahnya. Melangkahkan kaki diiringi para nayaga. Disaksikan oleh para tamu istimewa. Menjadi duta pariwisata ke mancanegara. Mendapat penghargaan budaya dan segala macam peristiwa yang membuat dirinya menjadi Maestro yang melegenda.
Entahlah, barangkali ia hanya akan menjadi penari topeng yang setia menghantar lelapnya matahari di ujung lautan. Atau mungkin angin tak pernah benar-benar menerbangkang impiannya, agar Rodiah bisa menemaninya membelai tiap lekuk pantai Karang Song. Seorang gadis di pinggir pantai menarikan irama lautan adalah sebuah keistimewaan paling berarti. Setiap sendi yang bergerak mengikuti laju ombak ke tepian adalah keindahan paling sejati. Namun tak seorangpun bisa menikmati. Tak sekejap matapun yang peduli.
Namun, Rodiah tetaplah Rodiah. Seorang gadis miskin yang hanya memiliki panggung batu karang dengan riuh rendah umang-umang serta sebuah ilustrasi tepuk tangan yang selalu melegakannya setiap kali melangkah pulang. Tapi Rodiah baru benar-benar pulang bila senja telah menghilang. Ia selalu ingin menjadi orang terakhir yang menyaksikan matahari tenggelam. Dan selalu ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan pergantian malam di Karang Song. Sudah sejak dulu Abahnya memaklumi kebiasaan anaknya ini. Ya, sejak kepergian Mimi, senja Karang Song telah menjadi sahabat paling akrab tempatnya mencurahkan segala perasaan. Seperti sore ini ketika Rodiah baru saja sampai di teras rumah. Abah menyambutnya dengan senyum ramah.
“Sore ini pemandangan senjanya tidak sebagus kemarin, bah.” Katanya sambil menuju sebuah kursi rotan yang sengaja diletakkan diruang tamu, sebagai pemanis. Kursi itu adalah kursi satu – satunya yang mereka miliki. Abah melirik ke luar rumah, dilihatnya langit dengan raut wajah yang sedih.
“Abah tidak melaut?” Tanya Rodiah heran, sebab biasanya lepas maghrib abah sudah berkemas untuk melaut.
“Tidak nok, air laut pasang, takut ada badai.” Kata abah.
Rodiah tak bertanya lagi, sejurus kemudian, ia bangkit meninggalkan abah yang tengah sibuk melipat jaring. Beberapa pekerjaan rumah tangga tengah menanti melengkapi keletihannya setelah seharian kerja di pengolahan ikan asin milik Bi Kusni. Jika hari-hari biasa ia hanya bekerja sepulang sekolah. Namun ini hari minggu, hingga ia harus bekerja seharian dari pagi. Beruntung sekali Bi Kusni masih mau mempekerjakan gadis belia seperti dirinya, jika tidak entah ia tak bisa membayangkan bagaimana beratnya beban yang harus dipikul oleh Abah. Lamat-lamat tembang Bang Toyib bergemerisik dari radio tetangga. Lampu-lampu mulai menyala.

* * *

Teeett….!!!
Bel masuk sekolah berbunyi. Rodiah tergopoh-gopoh berlari memasuki ruang kelas. Tidak seperti biasanya ia terlambat. Ia harus berjalan kaki sejauh enam kilometer untuk sampai ke sekolah karena ingin menghemat ongkos. Biasanya Rodiah dan teman-teman sekampungnya berangkat ke sekolah naik angkot. Namun abah sudah hampir seminggu tidak melaut. Itu artinya tidak ada pemasukan dari Abah. Sedangkan upah dari Bi Kusni hanya ia terima sebualan sekali setiap tanggal lima belas yang biasanya langsung di gunakan untuk nyaur di warung sembako langganannya.
Hari itu memang bukan hari biasa bagi Rodiah. Di sekolahpun Rodiah tampak murung dan menyendiri. Waktu istirahatnya hanya ia habiskan dengan coretan-coretan kecil di meja tulis. Beberapa teman mengajaknya ke kantin, namun ia menolaknya dengan berbagai alasan. Tanpa sadar ternyata coretan-coretan di bangku itu telah berubah menjadi potret sebuah keluarga kecil. Abah, Mimi, dan dirinya. Sebutir bening menetes di sudut matanya. Berbagai pikiran tentang masa lalu dan impian silih berganti menjerumuskannya dalam diam yang panjang.
Mimi adalah seorang Ibu yang mulia dan Istri yang Soleha bagi ayah. Ia selalu bersyukur dan menerima berapapun jumlah penghasilan Abah dari Melaut. Pernah suatu ketika Abah pulang tanpa membawa apa-apa meski tak sebutirpun beras ada di penjaringan mereka. Tapi Mimi menyambutnya dengan tersenyum berusaha mengerti dengan perjuangan Abah. Mereka melewati malam itu dengan semangkuk mi rebus yang di bagi untuk bertiga.
Ah, coba seandainya Mimi masih ada, jerit bathinnya. Lalu kenangan-kenangan berlintasan di benak rodiah. Ah, Mimi. Lihatlah anakmu ingin sekali menjadi seorang penari. Aku ingin menari di Alun-alun, di tengah lautan manusia seperti yang kita saksikan sepuluh tahun yang lalu. Mi, bawa aku dari tempat ini! Batin Rodiah makin meronta.
Mimi meninggalkannya sehari setelah Rodiah kecil mengutarakan keinginannya untuk menjadi seorang Penari Topeng sepuluh tahun yang lalu. Kepergian seorang ibu adalah kehilangan yang besar bagi seorang anak. Terlebih ketika itu usia Rodiah baru menginjak enam tahun. Usia yang sangat rawan bagi perkembangan seorang anak. Kata Abah Mimi pergi untuk bekerja. Namun selama sepuluh tahun kepergiaanya tak pernah sekalipun ada kabar berita. Tak ada surat, telegram, ataupun sekedar kartu pos yang sampai ke rumahnya. Dua tahun yang lalu, seorang tetangga kampung yang baru pulang dari Taiwan mengaku pernah bertemu Mimi di sebuah tempat di sudut kota Macau.
Traakk…! Tiba-tiba saja pensil yang digenggamnya patah. Rodiah tersentak dari pikiran-pikiran itu. Ia langsung ingat dengan Abah di rumah. Entah kenapa ia ingin sekali segera pulang dan merebahkan dirinya di pelukan Abah. Barangkali patahnya pensil itu hanyalah sebuah kebetulan saja, namun sungguh Rodiah merasa bahwa itu adalah suatu pertanda patahnya sebuah harapan dan cita-cita. Ah, Rodiah merasa bahwa bel pulang sekolah hari ini terasa begitu lama dan medebarkan. Ia sudah tak sabar untuk segera bertemu Abah meski tanpa alasan yang pasti.
“Abah mau melaut ya?” pertanyaan itu spontan keluar dari mulut Rodiah begitu sampai di rumah mendapati Abah tengah mempersiapkan peralatan nelayan. Tubuh abah masih menyisakan kegagahan di balik kaos tipis yang di kenakannya. Ia adalah sosok lelaki yang kuat dan seorang ayah yang bijak. Sepeninggal Mimi, Abah kerap mendapat godaan dari beberapa perempuan, namun Abah adalah seorang lelaki yang bertanggung jawab. Ia memilih untuk menghabiskan sisa umurnya bersama anak semata wayangnya, Rodiah.
“Abah, bagaimana jika di laut terjadi sesuatu?” Rodiah semakin khawatir. Abah menghentikan pekerjaannya. Sejenak ia menatap Rodiah dalam-dalam. Di usapnya keringat yang menempel di kening anak kesayangannya itu.
“Nok, kamu pasti capek karena berangkat sekolah berjalan kaki. Istirahatlah, abah akan melaut. Meskipun pasang, abah harus tetap melaut. Kamu jangan khawatir, semoga saja tidak terjadi sesuatu pada Abah. Do’akan saja ya nok, supaya bapak bisa pulang dengan selamat dan membawa uang banyak.”
Rodiah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya berusaha untuk menguatkan hatinya. Ada yang aneh dari binar mata Abah. Abah seolah-olah menyembunyikan sesuatu darinya. Seperti sebuah penyesalan tiada tara. Namun ia berusaha menutupinya, tak ingin Rodiah menaruh curiga kepadanya. Abah melangkah berat meninggalkan Rodiah. Rodiah menatap punggung Abah benar-benar tak rela melepas kepergiannya. Rodiah merasa ada keganjilan dengan keputusan Abah yang nekat untuk tetap melaut, padahal baru kemarin Abah mengatakan bahwa ia takut ada badai. Dari balik sudut gelap di ujung gang rumah mereka Abah menangis menahan pedih. Mata laki-laki itu tak lepas dari sosok anaknya yang masih terpaku di teras rumah. Maafkan Abah,nok. Abah melakukan ini karena ingin melihatmu bahagia, bisik hatinya.

* * *

“Rodiah. Apa kamu sudah siap?” Rodiah tak mengerti dengan maksud pertanyaan lelaki yang kini tiba-tiba hadir di depannya. Rodiah sedikit bergidik melihat tampang lelaki asing itu. Lelaki hitam, berjas hitam dengan asap yang terus mengepul dari bibirnya yang juga menghitam.
“Saya Tarsa. Lengkapnya Sutarsa. Segeralah berkemas, besok pagi kita berangkat. Malam ini kita akan mengadakan gladi bersih terlebih dahulu.” Rodiah semakin tidak mengerti dengan ucapan lelaki asing itu.
“Begini, secara diam-diam kami sering memperhatikan tarian-tarianmu di pinggir pantai. Menurut kami, kamu adalah seorang penari berbakat alami. Kemahiranmu benar-benar menakjubkan. Sungguh sangat sayang apabila bakat itu di abaikan. Kebetulan kami tengah membutuhkan seorang penari berbakat alam dalam rangkaian perjalanan budaya kami ke beberapa negara. Kami akan sangat bangga bila nok Rodiah mau bergabung bersama kami. Bagaimana nok”
Tiba-tiba Rodiah merasa bahwa tubuhnya melayang ke angkasa. Sepasang sayap menerbangkannya menembus mega-mega. Ia tak tahu harus berkata apa, angannya melambung dengan mata berkaca-kaca. Setengah takjub, setengah tak percaya. Berkali-kali Rodiah mencubit pipinya, berharap ini adalah nyata. Terima kasih senja, terima kasih angin gersang, terima kasih batu karang, terima kasih umang-umang.
Ah, Mimi. Terima kasih Mimi. Akhirnya hari ini tiba. Akhirnya gadis miskin ini menuju impiannya. Mimi, Rodiah akan membuat Mimi bangga. Abah, setelah ini Abah tidak perlu nekat melaut. Rodiah akan bersekolah dengan biaya sendiri dan tidak lagi berjalan kaki. Dan Bi Kusni, Maaf. Rodiah tidak bisa bekerja di gesek lagi. Terima kasih untuk kebaikannya selama ini.
“Ayo, nok. Kita sudah di tunggu.” Suara Tarsa mendaratkan kembali kesadaran Rodiah. Dengan tersipu Rodiah langsung berkemas. Ia tak perlu lagi berpikir panjang. Tak ada yang harus di pertimbangkan. Tak ada yang mesti ia rundingkan. Impiannya telah di depan mata. Sebuah kesempatan yang sudah bertahun-tahun ia nantikan. Inilah saatnya bagi Rodiah untuk memutar roda nasibnya. Rodiah Menyiapkan beberapa helai pakaian yang masih terasa pantas ia kenakan. Memasukkan beberapa perlengkapan yang masih layak ia gunakan kemudian mnitipkan pesan agar Abah tak kehilangan.
Rodiah masuk ke dalam Pick Up milik Tarsa dengan persaan berdebar. Hayalan-hayalan telah membumbungkan harapannya. Terbang setinggi-tingginya menjemput impian.
Duh, sing ora di sangka-sang.
Duh, sing ora di nyana-nyana…
Sebuah tembang Tarling lawas dari radio dua band milik tetangga mengantar kepergian Rodiah. Dari balik sudut gelap di ujung gang, sepasang mata menatapnya penuh luka. Mata itu sudah tak sanggup membendung kepedihan dan kesakitan. Sepasang mata yang penuh keputus asaan. Sebuah tangisan yang lebih dalam dari pingsan. Sebuah kesedihan menuju batas paling tepi dari sepi. Deras air mata itu merembes menetes diatas tumpukan uang dalam genggamannya. Sepasang mata itu adalah milik Carba. Abah Rodiah.

* * *

Rodiah membuka matanya perlahan-lahan. Kelopak mata itu begitu berat. Ia terkejut menyadari bahwa ia kini telah berada di sebuah ruangan dingin bersama beberapa orang gadis seusia dirinya. Mereka pulas meski tergeletak di atas lantai tanpa alas. Cahaya redup di balik tembok tak sampai setengahnya menyentuh ruangan ini. Di sudut kanan ruang terdapat sebuah tong plastik berisi air keruh penuh jentik-jentik nyamuk yang tak terhitung jumlahnya. Beberapa centi dari tong itu menganga pipa saluran yang menebarkan bau pesing bercampur tinja ke segenap ruang.
Rodiah tersentak dengan kepala pusing bukan kepalang. Ada sesuatu yang tercekat di tenggorokannya sehingga susah baginya untuk bersuara. Ia membangunkan seseorang di sampingnya. Tubuh gadis itu nyaris setengah telanjang. Beberapa memar terlihat di pipi kanan dan pundaknya. Sementara di sudut bibirnya yang pecah ada darah yang mongering. Entah apa yang terjadi dengan wanita malang itu. Rodiah berusaha menggoyang-goyangkan tubuh gadis itu, namun tak ada respon. Ia mengira gadis itu jika tidak terlalu lelap maka pasti gadis itu tengah pingsan.
Tiba-tiba ruangan itu gaduh oleh makian-makian dan tangisan dari seorang gadis lainnya di belakang Rodiah. Gadis itu meronta-ronta menahan sakit di kepalanya. Barangkali sakit yang sama dengan yang di rasakan Rodiah. Satu-persatu semua penghuni ruangan itu terbangun. Mereka histeris dalam kegaduhan yang semakin menjadi-jadi. Rodiah baru tersadar bahwa ia dan gadis-gadis lainnya kini tengah di sekap dalam ruangan yang tidak lebih manusiawi dari sebuah penjara bagi para pencuri. Rodiah mengernyitkan kening, mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja ia alami.
Malam itu Tarsa membawa Rodiah ke sebuah tempat yang begitu mewah. Pada awalnya ia diperlakukan bagai tamu istimewa. Sebagai gadis kampung yang memiliki impian besar, tentu saja perlakuan manis Tarsa membuat Rodiah terkesan dan percaya dengan segala ucapannya. Tarsa mengiming-iminginya dengan kemewahan dan sebentang jalan meraih impian. Namun justru impian-impiannya itulah yang menjebaknya ke dalam peristiwa-peristiwa pahit dalam hidupnya. Pertemuan dengan Tarsa adalah awal dari segala bencana yang di alami Rodiah. Ia tidak pernah tahu bahwa Abah telah menghargainya dengan segenggam rupiah. Ia juga tidak pernah tahu bahwa sepuluh tahun yang lalu Mimi juga mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Dimatanya, Abah tetaplah sosok lelaki yang mulia.
Ternyata Rodiah tak pernah diminta untuk mempertontonkan tariannya. Tarsa tidak benar-benar mengagumi tariannya. Tarsa ternyata adalah musuh humanisme yang memperdagangkan manusia. Ia tidak pernah menyangka bahwa impian telah membutakannya sehingga menjadi korban kemanusiaan. Kini, segala macam penyesalan bergelayut di kelopak mata Rodiah. Segala macam caci maki dan sumpah serapah takkan bisa menjadi diplomasi yang membebaskan dirinya. Keputus asaan tiba-tiba menjadi sahabat yang ingin segera di akrabi. Dalam kondisi seperti ini, masihkah sabar dan do,a menjadi senjata seorang hamba?
Tiga orang lelaki kurus bermata sipit mendekati ruang sekap Rodiah dan kawan-kawan. Masing-masing mereka membawa nampan besar. Satu membawa nasi, satunya membawa lauk dan kerupuk, dan satu lagi membawa air minum. Waktunya makan siang bagi Rodiah dan sahabat-sahabat barunya di ruang tahanan.
“Siang ini kalian orang makan pake telor mata sapi. Dan ini ada vitamin. Jangan lupa diminum.” Kata seorang lelaki itu dengan aksen Tionghoa. Di hari ke sembilannya ini, Rodiah mendapat menu lebih baik dari sebelumnya. Biasanya ia hanya makan pake tahu basi atau ikan teri. Namun yang paling sering adalah mie tawar yang sudah mengembang karena di rendam semalaman. Suka atau tidak suka mereka harus memakannya jika tidak ingin mati kelaparan. Dan vitamin? nah inilah pertanda sesuatu akan terjadi sebentar malam. Setiap tiga hari sekali mereka selalu memberi vitamin dan obat bagi para tahanan, namun pada malam harinya satu dua orang diantara mereka dibawa keluar dari ruang tahanan. Pagi harinya mereka kembali dengan rasa nyeri di selangkangan. Mereka kehilangan keperwanan. Lalu malam ini siapakah yang akan menjadi korban? Rodiahkah, Surti, Mawar, Nining, Sri, atau…? Hantu ketakutan mengurung mereka dalam ruangan empat kali empat tanpa ventilasi entah di belahan dunia mana yang tak pernah mereka ketahui.

* * *
Rodiah dan sahabat barunya kini berada di sebuah dermaga kecil. Hanya ada tiga kapal yang bersandar. Menurut desas-desus yang ia dengar, mereka akan di bawa ke Taiwan. Tapi juga ada yang mengatakan mereka hanya akan dibawa ke pulau seberang.

Bersambung…
Selengkapnya...

Minggu, 23 Agustus 2009

Spiritualitas Dalam Seni

I

Spiritualitas adalah apa yang telah menempa kita dalam seluruh cucuran keringat, air mata, doa, getir bahagia, harapan–kecemasan, jatuh–bangun, maki dan pujian, perjumpaan–kehilangan, semua hal yang pernah ditata dan hancur, atau segala hal yang pernah menggilas dan kita lawan habis-habisan, sebentang jurang atau seberkas cahaya dalam kegelapan… semua itulah yang membentuk spiritualitas ; sesuatu yang menjadi pribadi, khas, bersendiri, dan abai dari keramaian, lepas dari pasar dan industri, hiruk pikuk politik, dari segala kemegahan teori, ilmu pengetahuan, segala bentuk transaksi. Spiritualitas adalah sesuatu yang diam-diam sembunyikan dalam keheningan. Agar kelak, ketika ia harus bersatu dengan Sumber-nya, ia tetap terjaga meskipun boyak dan luka.

Spiritualitas adalah segala yang telah diberikan kehidupan kepada kita dan membuat kita memahami apa yang harus diberikan kepadanya. Sebagai manusia, kita memiliki kekayaan sekaligus keterbatasan, karena itu kita memilih. kita tidak mungkin mengambil dan meraih semuanya, juga pasti tidak bisa memberikan apa saja. Selembar daun jatuh ke tanah, diurai mikrooganisme menjadi humus, diserap dari akar ke batang, ke ranting, kembali ke daun-daun. Sekuntum bunga di puncak gunung yang tak terjamah akan tetap mekar pada musimnya dan memberikan harumnya kepada udara meskipun tak ada manusia yang melihatnya. Kesenian tidak ubahnya sebuah jalan darimana kita mengambil dan memberi sesuatu kepada kehidupan.

I I

Tetapi, ternyata jalan yang kita pilih ini memang bukan jalan tol dan itulah soalnya. Jalan yang kita tempuh ini adalah jalan yang pembangunannya sebagian besar hasil swadaya sendiri. Entah mengapa para pendahulu kita punya ide membuat jalan melintasi daerah-daerah yang memang susah di jangkau. Saking susahnya, bahkan hantu pun tak berani kesana. Bayangkan, jalanan ini belum diaspal, penuh batu-batu cadas, sempit, mengarah ke wilayah-wilayah pedalaman; jurang, lubuk hutan, rawa -meskipun sesekali ada angin semilir, ngarai yang indah, atau telaga –tetapi di situ penuh ular berbisa dan buaya. Berliku, menanjak, tak ada rambu atau tanda-tanda akan berakhir di mana.

Tetapi kita ini memang keturunan bengal dan tetap meneruskan menempuh jalan itu. Padahal pemerintah tak pernah bersungguh-sungguh mencantumkan jalanan itu dalam proyek pembangunan dan pemekaran wilayah. Hanya sesekali memang, kalau ada pihak pemerintah atau swasta yang ingin tamasya ke sebuah tempat yang kebetulan dilintasi jalanan kita ini; akan ada terang lampu, sedikit aspal untuk menutup lubang dan batu, atau kendaraan supaya tak terlalu capek dan berkeringat menuju lokasi. Inilah yang membuat kita sedikit santai dan ngaso.

Syukurlah pula ada teman-teman kita yang berhasil dengan susah payah mendapat sesuatu yang berharga –intan permata, bunga langka, atau biawak purba- lalu menunjukkan pada khalayak –dan mereka memperoleh sedikit kebahagiaan melihat orang-orang jadi senang dengan apa yang mereka dapatkan. Tapi bayangkan kalau kebetulan yang melakukan itu “para penempuh” yang belum berpengalaman lalu dengan niat baik kebelet untuk berpartisipasi membuktikan bahwa kerja mereka itu tidak sia-sia, datang kepada khalayak dan menunjukkan rumput duri yang mereka genggam sebagai anggrek langka. Alamat mereka akan dicibir dan kena-lah kita semua. Makanya tak jarang pula kawan-kawan kita jadi kecewa, lelah, lalu pamit dan kita cuma bisa melongok melihat jumlah mereka yang ngacir itu makin hari kian banyak tanpa bisa menyalahkan. Memberi keyakinan kepada orang yang capek dan kadung lembek itu kan nyaris sia-sia. Paling-paling kita Cuma bisa bilang: “Sabarlah, tuh lihat, sudah berapa banyak kawan-kawan yang selamat dan mendapat tempat-tempat yang istimewa, punya lampu mercusuar, menara-menara yang tinggi dan sering dikunjungi siapa saja…” tapi mereka bisa juga menjawab: “Iya kalau selamat, kalau mati di makan harimau, gimana?”. Setelah itu kita akan bergumam sendiri: “Memang payah kalau sudah lembek, melihat parit pun dia kira jurang.” Meskipun kita sendiri diam-diam sering pula gemetar. Tapi kalau tidak kita teruskan, apa kata orang-orang yang pernah mencibir kita? Dan apa kata kawan-kawan yang sudah lebih dulu sampai? Mungkin mereka akan mentertawai dan meyebut kita: “sepasukan kaki kuning yang serba canggung dan tanggung melangkah”.
I I I

Biografi kesengsaraan seorang seniman, kata Goenawan Mohamad, selalu punya pesonanya sendiri. Vincent Van Gogh dan Gauguin Modigliani, (yang meninggalkan kerjanya di bursa Paris lalu menjadi kuli di Tahiti) atau A. Nugraha (yang lari dari rumah kontrakannya, praktis berpisah dari isteri dan sering tergeletak di Panti Budaya, Indramayu) memproyeksikan sebuah citra yang dramatik bahwa kesenian bukanlah perkara yang main-main. Banyak orang mengorbankan hampir seluruh dirinya untuk itu. Atau setidaknya, di sana ada gandrung yang patologis seperti kisah orang suci dan sufi.

Van Gogh, salah seorang icon di jagat seni lukis, pada 1890, menembak perutnya sendiri di dekat seonggok rabuk tahi sapi di sebuah ladang di dusun Auvers-au-Oise, timur laut Paris. Dan tiga puluh enam jam setelah itu ia mati. Ia tewas dalam usia 37 tahun meninggalkan dunia dengan rombeng; putus asa, sendiri, depresi jiwa. Salah satu surat terakhirnya berbunyi: “Prospeknya kian gelap.” Tiga patah kata ini pulalah yang saya kira telah menyelinap ke balik setiap impian kita dalam seni dan bersiap menelikung kita kapan saja.

Tetapi, bagaimana kita membayangkan arti Vincent Van Gogh bagi kita kini, tanpa mengingat peran adiknya, Theo, yang bekerja di galeri tempat jual beli lukisan? Theo-lah yang dengan sabar mendampingi dan membantu kakaknya yang aneh dan keras ini. Tapi lebih dari itu, ia bisa dianggap lambang ketahanan dunia yang prosaik, datar, rutin, di luar seni, yang meyebabkan orang membeli, mengoleksi, membangun galeri, membuat museum –semacam cinta yang bengal. Dan Van Gogh mengakui hal ini, meskipun tak menghilangkan pesimismenya.

Lalu, di zaman yang makin pragmatis ini, siapakah yang mau bersusah-susah memainkan peran seperti Theo? Dan masih beranikah seniman yang hidup kini, di sini, mengambil sikap total dalam seni –meski tak harus bunuh diri- demi melahirkan sebuah karya yang sanggup menggetarkan manusia sebagaimana dilakukan Vincent Van Gogh?

Beranikah kita, dewasa ini, bersikeras bertahan dalam segala rasa nyeri untuk tetap berkarya secara sungguh-sungguh di tengah sinisme zaman seperti sekarang? Sanggupkah kita keluar dari “zona-aman” dan memilih menempuh hidup yang lebih ber-resiko di dalam seni meskipun tak bisa dijawab apa gunanya? Atau sudikah kita bersama-sama merayakan kebangkrutan kultural yang tengah disembunyikan dalam banyak agenda pembangunan di daerah ini yang seringkali membuat hati menjadi masygul itu?

I V

Ratusan abad silam, Socrates, Sang Pengawal Akal Sehat dan Pencinta Kebijakan itu, memilih mati menenggak racun daripada mengingkari kebenaran demi sebuah libido para pengurus Negara yang kadung paranoid terhadap setiap bentuk daya kritis yang berkembang. Pidato-pidato tajam dan pertanyaan-pertanyaan kritisnya lalu tak terdengar lagi di lorong-lorong kota Athena, di antara hiruk pikuk orang di pasar, di sela gempita rakyat mengelu-elukan pemimpinnya, di sisi para pemuda yang tampak pucat tersaput kabut kematian dan kemenangan peperangan. Suaranya telah hilang bersama tubuh gempalnya yang kaku-membiru di sebuah penjara.

Tapi, bersamaan dengan itu, ada yang lahir; bergerak dari palung-pikir yang hendak di sekap, yakni kesadaran untuk melakukan refleksi. Sebab, segala sesuatu tak selalu berlangsung sebagaimana seharusnya. Sebab, selalu ada yang terasa tak lengkap. Maka, sebelum kematiannya yang tak pernah ditangisi siapapun itu, Socrates berkata: “Hidup yang tak dapat direfleksikan, tak layak dijalani”.
Di belahan bumi yang lain, dalam masa yang lain, Para Nabi dan orang-orang Suci, telah sedemikian berjerih payah mengajarkan segala cara agar manusia mampu merefleksikan hidupnya, mencicipi cucuran hikmah; agar spiritualitasnya tetap terjaga dan karena itu ia merasakan kebermaknaan atas hidup yang dijalaninya.

Spiritualitas semacam itulah yang semestinya juga diperankan setiap seniman melalui keseniannya. Sehingga, melalui seni, keindahan (kebajikan) masih bisa diresonansikan dalam abad yang prestasi utamanya adalah pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan ini. Sebuah abad di mana pasar bahkan telah di bangun melebihi kecepatan reproduksi.

“Kini semuanya telah menjelma menjadi forum (pasar)”, bisik Zarathustra dalam kesunyiannya. Ia pun bertualang mencari siapa saja yang masih berkenan menggunakan nalar dan hati. Sesiapa saja yang bersendiri dan ditinggalkan, tetapi terjaga dan mawas terhadap apapun yang absen dari keramaian dan keriuhan.

Disini, saya hendak mengatakan, seni adalah sesuatu yang masih pantas kita jaga setidaknya sebagai ruang dimana hidup masih dapat kita refleksikan. Sebuah ruang, di mana nalar dan hati seharusnya mendapat tempat dan mahkotanya sendiri.

Saya percaya, di sepanjang sejarah, dalam setiap generasi, di setiap tempat, Spirit sang Nabi, orang-orang Suci, akan menemukan wujudnya sendiri. Juga di Indramayu ; yang makin boyak karena nalar dan hati kian “bolos” dari kebijakan pembangunan, rapat para anggota Dewan, perilaku sosial, apatah lagi remeh-temeh pertarungan politik.

V

…bakti itu adalah semua tindakan yang menimbulkan ketenangan dalam hati dan jiwa… Demikian kata kanjeng Nabi. Dan sesungguhnya, cuma sebaris kalimat inilah yang paling berharga dalam tulisan saya ini. Itulah hakikat spiritualitas yang hendak saya sampaikan; sebuah bakti. Setelah ratusan kata bergelimpangan di eja dan di tata, tak sedikit pun mampu untuk sekadar menghampiri keluasan dan kedalaman makna dua belas kata dari Sang Terpercaya ini.

Bisakah kesenian kita beranjak sedikit demi sedikit hingga mencapai kualitas bakti? Ia disebut “bakti” karena dilakukan untuk dipersembahkan kepada sesuatu yang lebih besar dan tinggi dari dirinya dan tindakan itu sendiri. Sanggupkah sebentar saja kita bertahan dari rasa lapar dan kepayahan tanpa keluh kesah dan dengan tetap menghormati diri kita sendiri hingga ‘Sang Tangan Kehidupan’ berkenan meraih dan mengangkat kita di mana setetes kesejatian ilmu dan hikmah mengaliri darah memperbaiki setiap bopeng kemanusiaan kita? Mampukah kita perlahan-lahan sedikit beringsut dari posisi kita sebagai pesakitan menjadi pencinta yang merubah batu jadi peluru, pasir jadi permata, serbet jadi busana, ranting jadi senjata, kalibut menjadi tata, bunyi menjadi gema, luka jadi karya dan mempersembahkannya sebagai bakti kepada peradaban ini, kepada kehidupan, kepada sesama manusia, kepada Tuhan?

Cag!

Indramayu, 09 Januari 2008
Selengkapnya...