Minggu, 23 Agustus 2009

Spiritualitas Dalam Seni

I

Spiritualitas adalah apa yang telah menempa kita dalam seluruh cucuran keringat, air mata, doa, getir bahagia, harapan–kecemasan, jatuh–bangun, maki dan pujian, perjumpaan–kehilangan, semua hal yang pernah ditata dan hancur, atau segala hal yang pernah menggilas dan kita lawan habis-habisan, sebentang jurang atau seberkas cahaya dalam kegelapan… semua itulah yang membentuk spiritualitas ; sesuatu yang menjadi pribadi, khas, bersendiri, dan abai dari keramaian, lepas dari pasar dan industri, hiruk pikuk politik, dari segala kemegahan teori, ilmu pengetahuan, segala bentuk transaksi. Spiritualitas adalah sesuatu yang diam-diam sembunyikan dalam keheningan. Agar kelak, ketika ia harus bersatu dengan Sumber-nya, ia tetap terjaga meskipun boyak dan luka.

Spiritualitas adalah segala yang telah diberikan kehidupan kepada kita dan membuat kita memahami apa yang harus diberikan kepadanya. Sebagai manusia, kita memiliki kekayaan sekaligus keterbatasan, karena itu kita memilih. kita tidak mungkin mengambil dan meraih semuanya, juga pasti tidak bisa memberikan apa saja. Selembar daun jatuh ke tanah, diurai mikrooganisme menjadi humus, diserap dari akar ke batang, ke ranting, kembali ke daun-daun. Sekuntum bunga di puncak gunung yang tak terjamah akan tetap mekar pada musimnya dan memberikan harumnya kepada udara meskipun tak ada manusia yang melihatnya. Kesenian tidak ubahnya sebuah jalan darimana kita mengambil dan memberi sesuatu kepada kehidupan.

I I

Tetapi, ternyata jalan yang kita pilih ini memang bukan jalan tol dan itulah soalnya. Jalan yang kita tempuh ini adalah jalan yang pembangunannya sebagian besar hasil swadaya sendiri. Entah mengapa para pendahulu kita punya ide membuat jalan melintasi daerah-daerah yang memang susah di jangkau. Saking susahnya, bahkan hantu pun tak berani kesana. Bayangkan, jalanan ini belum diaspal, penuh batu-batu cadas, sempit, mengarah ke wilayah-wilayah pedalaman; jurang, lubuk hutan, rawa -meskipun sesekali ada angin semilir, ngarai yang indah, atau telaga –tetapi di situ penuh ular berbisa dan buaya. Berliku, menanjak, tak ada rambu atau tanda-tanda akan berakhir di mana.

Tetapi kita ini memang keturunan bengal dan tetap meneruskan menempuh jalan itu. Padahal pemerintah tak pernah bersungguh-sungguh mencantumkan jalanan itu dalam proyek pembangunan dan pemekaran wilayah. Hanya sesekali memang, kalau ada pihak pemerintah atau swasta yang ingin tamasya ke sebuah tempat yang kebetulan dilintasi jalanan kita ini; akan ada terang lampu, sedikit aspal untuk menutup lubang dan batu, atau kendaraan supaya tak terlalu capek dan berkeringat menuju lokasi. Inilah yang membuat kita sedikit santai dan ngaso.

Syukurlah pula ada teman-teman kita yang berhasil dengan susah payah mendapat sesuatu yang berharga –intan permata, bunga langka, atau biawak purba- lalu menunjukkan pada khalayak –dan mereka memperoleh sedikit kebahagiaan melihat orang-orang jadi senang dengan apa yang mereka dapatkan. Tapi bayangkan kalau kebetulan yang melakukan itu “para penempuh” yang belum berpengalaman lalu dengan niat baik kebelet untuk berpartisipasi membuktikan bahwa kerja mereka itu tidak sia-sia, datang kepada khalayak dan menunjukkan rumput duri yang mereka genggam sebagai anggrek langka. Alamat mereka akan dicibir dan kena-lah kita semua. Makanya tak jarang pula kawan-kawan kita jadi kecewa, lelah, lalu pamit dan kita cuma bisa melongok melihat jumlah mereka yang ngacir itu makin hari kian banyak tanpa bisa menyalahkan. Memberi keyakinan kepada orang yang capek dan kadung lembek itu kan nyaris sia-sia. Paling-paling kita Cuma bisa bilang: “Sabarlah, tuh lihat, sudah berapa banyak kawan-kawan yang selamat dan mendapat tempat-tempat yang istimewa, punya lampu mercusuar, menara-menara yang tinggi dan sering dikunjungi siapa saja…” tapi mereka bisa juga menjawab: “Iya kalau selamat, kalau mati di makan harimau, gimana?”. Setelah itu kita akan bergumam sendiri: “Memang payah kalau sudah lembek, melihat parit pun dia kira jurang.” Meskipun kita sendiri diam-diam sering pula gemetar. Tapi kalau tidak kita teruskan, apa kata orang-orang yang pernah mencibir kita? Dan apa kata kawan-kawan yang sudah lebih dulu sampai? Mungkin mereka akan mentertawai dan meyebut kita: “sepasukan kaki kuning yang serba canggung dan tanggung melangkah”.
I I I

Biografi kesengsaraan seorang seniman, kata Goenawan Mohamad, selalu punya pesonanya sendiri. Vincent Van Gogh dan Gauguin Modigliani, (yang meninggalkan kerjanya di bursa Paris lalu menjadi kuli di Tahiti) atau A. Nugraha (yang lari dari rumah kontrakannya, praktis berpisah dari isteri dan sering tergeletak di Panti Budaya, Indramayu) memproyeksikan sebuah citra yang dramatik bahwa kesenian bukanlah perkara yang main-main. Banyak orang mengorbankan hampir seluruh dirinya untuk itu. Atau setidaknya, di sana ada gandrung yang patologis seperti kisah orang suci dan sufi.

Van Gogh, salah seorang icon di jagat seni lukis, pada 1890, menembak perutnya sendiri di dekat seonggok rabuk tahi sapi di sebuah ladang di dusun Auvers-au-Oise, timur laut Paris. Dan tiga puluh enam jam setelah itu ia mati. Ia tewas dalam usia 37 tahun meninggalkan dunia dengan rombeng; putus asa, sendiri, depresi jiwa. Salah satu surat terakhirnya berbunyi: “Prospeknya kian gelap.” Tiga patah kata ini pulalah yang saya kira telah menyelinap ke balik setiap impian kita dalam seni dan bersiap menelikung kita kapan saja.

Tetapi, bagaimana kita membayangkan arti Vincent Van Gogh bagi kita kini, tanpa mengingat peran adiknya, Theo, yang bekerja di galeri tempat jual beli lukisan? Theo-lah yang dengan sabar mendampingi dan membantu kakaknya yang aneh dan keras ini. Tapi lebih dari itu, ia bisa dianggap lambang ketahanan dunia yang prosaik, datar, rutin, di luar seni, yang meyebabkan orang membeli, mengoleksi, membangun galeri, membuat museum –semacam cinta yang bengal. Dan Van Gogh mengakui hal ini, meskipun tak menghilangkan pesimismenya.

Lalu, di zaman yang makin pragmatis ini, siapakah yang mau bersusah-susah memainkan peran seperti Theo? Dan masih beranikah seniman yang hidup kini, di sini, mengambil sikap total dalam seni –meski tak harus bunuh diri- demi melahirkan sebuah karya yang sanggup menggetarkan manusia sebagaimana dilakukan Vincent Van Gogh?

Beranikah kita, dewasa ini, bersikeras bertahan dalam segala rasa nyeri untuk tetap berkarya secara sungguh-sungguh di tengah sinisme zaman seperti sekarang? Sanggupkah kita keluar dari “zona-aman” dan memilih menempuh hidup yang lebih ber-resiko di dalam seni meskipun tak bisa dijawab apa gunanya? Atau sudikah kita bersama-sama merayakan kebangkrutan kultural yang tengah disembunyikan dalam banyak agenda pembangunan di daerah ini yang seringkali membuat hati menjadi masygul itu?

I V

Ratusan abad silam, Socrates, Sang Pengawal Akal Sehat dan Pencinta Kebijakan itu, memilih mati menenggak racun daripada mengingkari kebenaran demi sebuah libido para pengurus Negara yang kadung paranoid terhadap setiap bentuk daya kritis yang berkembang. Pidato-pidato tajam dan pertanyaan-pertanyaan kritisnya lalu tak terdengar lagi di lorong-lorong kota Athena, di antara hiruk pikuk orang di pasar, di sela gempita rakyat mengelu-elukan pemimpinnya, di sisi para pemuda yang tampak pucat tersaput kabut kematian dan kemenangan peperangan. Suaranya telah hilang bersama tubuh gempalnya yang kaku-membiru di sebuah penjara.

Tapi, bersamaan dengan itu, ada yang lahir; bergerak dari palung-pikir yang hendak di sekap, yakni kesadaran untuk melakukan refleksi. Sebab, segala sesuatu tak selalu berlangsung sebagaimana seharusnya. Sebab, selalu ada yang terasa tak lengkap. Maka, sebelum kematiannya yang tak pernah ditangisi siapapun itu, Socrates berkata: “Hidup yang tak dapat direfleksikan, tak layak dijalani”.
Di belahan bumi yang lain, dalam masa yang lain, Para Nabi dan orang-orang Suci, telah sedemikian berjerih payah mengajarkan segala cara agar manusia mampu merefleksikan hidupnya, mencicipi cucuran hikmah; agar spiritualitasnya tetap terjaga dan karena itu ia merasakan kebermaknaan atas hidup yang dijalaninya.

Spiritualitas semacam itulah yang semestinya juga diperankan setiap seniman melalui keseniannya. Sehingga, melalui seni, keindahan (kebajikan) masih bisa diresonansikan dalam abad yang prestasi utamanya adalah pendangkalan nilai-nilai kemanusiaan ini. Sebuah abad di mana pasar bahkan telah di bangun melebihi kecepatan reproduksi.

“Kini semuanya telah menjelma menjadi forum (pasar)”, bisik Zarathustra dalam kesunyiannya. Ia pun bertualang mencari siapa saja yang masih berkenan menggunakan nalar dan hati. Sesiapa saja yang bersendiri dan ditinggalkan, tetapi terjaga dan mawas terhadap apapun yang absen dari keramaian dan keriuhan.

Disini, saya hendak mengatakan, seni adalah sesuatu yang masih pantas kita jaga setidaknya sebagai ruang dimana hidup masih dapat kita refleksikan. Sebuah ruang, di mana nalar dan hati seharusnya mendapat tempat dan mahkotanya sendiri.

Saya percaya, di sepanjang sejarah, dalam setiap generasi, di setiap tempat, Spirit sang Nabi, orang-orang Suci, akan menemukan wujudnya sendiri. Juga di Indramayu ; yang makin boyak karena nalar dan hati kian “bolos” dari kebijakan pembangunan, rapat para anggota Dewan, perilaku sosial, apatah lagi remeh-temeh pertarungan politik.

V

…bakti itu adalah semua tindakan yang menimbulkan ketenangan dalam hati dan jiwa… Demikian kata kanjeng Nabi. Dan sesungguhnya, cuma sebaris kalimat inilah yang paling berharga dalam tulisan saya ini. Itulah hakikat spiritualitas yang hendak saya sampaikan; sebuah bakti. Setelah ratusan kata bergelimpangan di eja dan di tata, tak sedikit pun mampu untuk sekadar menghampiri keluasan dan kedalaman makna dua belas kata dari Sang Terpercaya ini.

Bisakah kesenian kita beranjak sedikit demi sedikit hingga mencapai kualitas bakti? Ia disebut “bakti” karena dilakukan untuk dipersembahkan kepada sesuatu yang lebih besar dan tinggi dari dirinya dan tindakan itu sendiri. Sanggupkah sebentar saja kita bertahan dari rasa lapar dan kepayahan tanpa keluh kesah dan dengan tetap menghormati diri kita sendiri hingga ‘Sang Tangan Kehidupan’ berkenan meraih dan mengangkat kita di mana setetes kesejatian ilmu dan hikmah mengaliri darah memperbaiki setiap bopeng kemanusiaan kita? Mampukah kita perlahan-lahan sedikit beringsut dari posisi kita sebagai pesakitan menjadi pencinta yang merubah batu jadi peluru, pasir jadi permata, serbet jadi busana, ranting jadi senjata, kalibut menjadi tata, bunyi menjadi gema, luka jadi karya dan mempersembahkannya sebagai bakti kepada peradaban ini, kepada kehidupan, kepada sesama manusia, kepada Tuhan?

Cag!

Indramayu, 09 Januari 2008

Tidak ada komentar: